Prasetyo menyampaikan, hutan adat sendiri adalah pengembalian hak tenurial hutan, berbeda dengan persetujuan dan pemberian izin. Karena itu, harus tepat secara budaya, ilmiah, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Konsep hutan adat itu, kata dia, adalah ruang hutan yang dikelola sampai hari ini baik sebagai hutan bersama, agroforestri, maupun kebun campuran yang masih dominan dengan tegakan hutan, dilihat dalam perspektif ekologis dan antropologis.
Lanjutnya, selama verifikasi usulan luas hutan adat Aceh, pihaknya tidak hanya menggunakan proses pendekatan teknokratik kehutanan tetapi juga pendekatan antropologi dan sosiologi yang mendalam.
"Semua didiskusikan secara terbuka bersama masyarakat dan disepakati luasan serta fungsinya, karena ada juga yang berfungsi lindung selain sebagian besar sebagai ekonomi untuk kesejahteraan MHA itu sendiri," katanya.
Selain itu, pihaknya juga melakukan proses edukasi mengenai peta wilayah adat untuk mencari "emik" atau pandangan asli dari masyarakat mengenai wilayah adatnya. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pertimbangan penetapan luasan hutan adat.
"Menemukan kategori lokal sangat penting. Ada tiga hal penting dalam masyarakat mukim dan gampong yaitu kebun, sawah, dan ternak," ujar Prasetyo.
Baca juga: Dua wilayah hutan adat di Aceh Jaya diakui negara, Pj Bupati: Sangat progresif
Dalam kesempatan ini, Ketua Tim Peneliti Hutan Adat Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Teuku Muttaqin Mansur menegaskan pihaknya tidak mempersoalkan penetapan hutan adat Aceh yang jumlahnya tidak sesuai dengan usulan.
Karena, hal paling penting adalah negara mengakui mukim sebagai masyarakat hukum adat dan subjek, lalu pada masa yang sama memiliki objek berupa harta kekayaan mukim. Salah satunya hutan adat yang baru ditetapkan ini.
"Imum Mukim juga mengatakan, walaupun hanya 1.000 meter saja diakui kita sudah mengucapkan syukur Alhamdulillah karena mukim diakui dan dihargai oleh negara," katanya.
Ia menyampaikan penetapan hutan adat Aceh ini merupakan momentum mengangkat kembali marwah dan martabat Aceh sesuai dengan historis, yakni UU 44/1999, MOU Helsinki, dan UUPA.
"Terkadang di lapangan, di Aceh sendiri terkesan 'dilemahkan' dengan berbagai catatan oleh sejumlah pihak," demikian Muttaqin.
Baca juga: LSM apresiasi Presiden Jokowi atas penetapan hutan adat Aceh