Tidak hanya itu, Aceh mampu membuat bandar negosiasi dengan pedagang rempah dunia di Pulau Penang, Malaysia pada masa kesultanan dahulu, sehingga diplomasi dan kekuatan militer terbentuk. Rakyat juga bisa makmur hanya dengan rempah saja.
"Paru sultan dulu menggunakan hasil bumi yang ada di permukaan, tidak pernah digali seperti emas, batu bara, minyak karena hasil rempah sudah bisa memakmurkan rakyat Aceh malah bisa diekspor dan melakukan hubungan dengan negara asing," katanya.
Tak hanya itu, dalam manuskrip juga disebutkan rempah menjadi alat tukar masyarakat. Pada masa dulu, masyarakat menukar rempah dengan kertas-kertas berkualitas, dirham, dinar, dan piring-piring keramik.
"Piring-piring yang terbuat dari keramik itu bukan dibuat oleh orang Aceh, melainkan bangsa lain yang ditukar dengan rempah," ujarnya.
Kehebatan rempah membuatnya disebut sebagai emas hitam bagi masyarakat Aceh. Adapun komoditas rempah yang menjadi kekuatan kesultanan Aceh adalah lada hitam dan lada putih. Kemudian, kayu manis, kemenyan, dan sarang burung walet. Andalan utama lada sehingga Aceh disebut bangsa ladam
Cek Midi berpendapat, kekuatan rempah Aceh terancam penggerusan lahan yang saat ini banyak digunakan untuk perkebunan sawit dan pertambangan. Akibatnya, beberapa rempah sudah mulai langka dan sulit ditemukan.
"Paling langka kemiri, kulit gaharu, cendana, karena keterbatasan lahan yang sudah banyak berubah menjadi perkebunan sawit," katanya.
Cek Midi berharap PKA-8 ini mampu menjadi momentum bagi pemerintah dan masyarakat Aceh untuk mengembalikan kekuatan rempah yang sudah melesu di abad 21 ini.
"Ke depan mari kita ambil potensi dari rempah ini menjadi sesuatu kekuatan ekonomi bagi rakyat Aceh. Tidak hanya pariwisata, hasil bumi. Tapi, potensi yang sudah ada masa lalu kita manfaatkan lebih baik lagi," demikian Cek Midi.
Baca juga: Disbudpar digitalisasi manuskrip kuno Aceh untuk mudahkan masyarakat