Area abu-abu
Praktik perjokian bermain di area abu-abu dalam sistem pendidikan nasional sehingga belum menimbulkan efek jera. Yang terjadi, justru gerakannya makin canggih seiring perkembangan digitalisasi. Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak secara gamblang mengatur sanksi bagi penyedia jasa joki.
UU Sisdiknas di dalamnya mengatur hukum bagi lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi, terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya (Pasal 25 ayat 2). Sanksi bagi lulusan yang terbukti karya ilmiahnya merupakan jiplakan, adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan atau denda maksimal Rp200 juta (Pasal 70). Namun, tidak dijelaskan penjiplakan itu seperti apa.
Aktivitas perjokian karya ilmiah juga melanggar UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang mana regulasi tersebut menyebutkan pendidikan tinggi harus berasaskan kejujuran (Pasal 3).
Berselang 18 tahun setelah UU Sisdiknas terbitlah Peraturan Mendikbud No. 39 tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah, yang lebih rinci menjelaskan bentuk pelanggaran terhadap prinsip moral dalam lingkungan akademik. Pasal 9 menyebutkan pelanggaran tersebut, antara lain fabrikasi, falsifikasi, plagiat, kepengarangan yang tidak sah, konflik kepentingan, dan pengajuan jamak.
Hasil dari perjokian skripsi dan karya ilmiah lainnya bisa dikategorikan sebagai plagiat karena mengambil sebagian/seluruh karya orang lain tanpa menyebut sumber secara tepat, menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri walau menyebut sumber, dan mengambil sebagian atau seluruh karya atau gagasan milik sendiri yang telah diterbitkan tanpa menyebut sumber secara tepat.
Kepengarangan yang tidak sah paling dekat untuk mengategorikan perjokian karya ilmiah, terutama pada penjelasan berupa menyuruh orang lain membuat karya sebagai karyanya tanpa memberikan kontribusi.
Adapun perjokian yang melibatkan internal kampus seperti dosen dan atau asisten dosen, bisa dikategorikan pelanggaran konflik kepentingan karena merupakan perbuatan menghasilkan karya ilmiah yang mengikuti keinginan untuk menguntungkan pihak tertentu.
Baca juga: Dekan: Tiga prodi FT USK raih akreditasi internasional
Namun, Permendikbud No. 39/2021 mengarahkan pada mekanisme penyelesaian pelanggaran secara internal di perguruan tinggi. Pemeriksaan dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh senat perguruan tinggi (Pasal 15 ayat 2). Tim itu memberikan rekomendasi sanksi yang akan diambil oleh pemimpin perguruan tinggi.
Sanksinya juga bukan pidana, melainkan sanksi administratif bagi pelaku dari sivitas akademika, yakni pemimpin perguruan tinggi, dosen, dan mahasiswa. Penyedia jasa atau joki karya ilmiah tidak disentuh seluruhnya oleh aturan tersebut.
Bagi pelaku yang merupakan pemimpin perguruan tinggi, sanksi administratifnya yakni pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (Pasal 16), sedangkan bagi mahasiswa yang terbukti melakukan pelanggaran, dikenakan sanksi administratif berupa pengurangan nilai atas karya ilmiah, penundaan dan atau pembatalan pemberian sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah, pemberhentian dari status mahasiswa, atau pembatalan ijazah, sertifikat kompetensi, atau sertifikat profesi (Pasal 17).
Pelaku perjokian yang dilakukan dosen sanksinya juga hanya administratif berupa penundaan kenaikan jabatan akademik maksimal 3 tahun, penurunan jabatan akademik satu tingkat, dan atau pemberhentian dari jabatan dosen (Pasal 17).
Penyelesaian pelanggaran integritas akademik secara internal disinyalir kurang efektif untuk memberantas perjokian di perguruan tinggi apabila ada konflik kepentingan yang terlalu kuat, dan apabila perguruan tinggi ingin mencetak sebanyak-banyaknya lulusan untuk meraih atau mempertahankan akreditasinya. Sebabnya, jumlah mahasiswa tidak lulus (drop out) yang tinggi bisa menurunkan akreditasi sebuah perguruan tinggi.
Penyedia jasa kini juga semakin lihai sehingga sulit untuk mendeteksi penjiplakan atau plagiarisme di karya ilmiah. Seorang joki karya ilmiah di Banda Aceh yang ingin identitasnya dirahasiakan mengungkapkan bahwa bekerja dengan menggabungkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan kemampuan parafrase untuk menulis ulang suatu teks tanpa kehilangan makna aslinya.
Dengan begitu, karya ilmiah yang dihasilkan tidak bisa dideteksi sebagai copy paste atau plagiat karya orang lain. Dalam sebuah karya ilmiah yang dihasilkan, rata-rata ia berkontribusi sekitar 90 persen, sedangkan sisa 10 persen adalah kontribusi pemesan dan biasanya hanya dalam bentuk ide.
"Ini hasilnya dibuktikan dari turnitin, yakni alat untuk mendeteksi plagiarisme. Saya berbeda dengan joki lain yang copy paste," ujarnya dengan yakin karya ilmiah yang dibantunya bebas dari plagiarisme.
Ini artinya, semakin sulit untuk mengidentifikasi karya ilmiah apakah murni karya satu orang atau ada keterlibatan joki. Cara deteksi yang masih bisa efektif adalah kejelian dari dosen pembimbing dan dosen penguji karya ilmiah itu sendiri.
Baca juga: UIN Ar-Raniry rencanakan pembangunan listrik nuklir
Kemajuan digitalisasi tanpa dibarengi penguatan regulasi dan etika, akan membuat perjokian dan pelanggaran integritas akademik lainnya makin tumbuh subur. Selain itu, apakah skripsi masih relevan sebagai syarat kelulusan mahasiswa?
Pemerhati pendidikan Prof. Cecep Darmawan menyetujui hal tersebut, bahwa pihak perguruan tinggi adalah salah satu aktor penting untuk mencegah dan memberantas pelanggaran integritas akademik yang mencederai dunia pendidikan nasional. Walaupun karya ilmiah buatan joki itu bisa bebas dari plagiarisme, ia menyebutnya sebagai bentuk penggunaan jasa akademik secara curang.
Praktik perjokian akan terus ada selama masih ada mahasiswa malas yang mencari jalan pintas, dan di sisi lain penyedia jasa merasa diuntungkan dari segi finansial.
"Sekarang tinggal kekuatan dosen pembimbingnya bagaimana, periksa enggak, teliti enggak? Kalau enggak teliti akhirnya dibohongi mahasiswanya," kata guru besar Universitas Pendidikan Indonesia ini.
Sebuah kampus juga salah apabila "tutup mata" terhadap praktik perjokian karya ilmiah demi menyelamatkan akreditasi semata. Sebabnya, kementerian juga tidak memaksakan mahasiswa mengerjakan skripsi sebagai tugas akhir.
Apa yang dimaksud Cecep Darmawan sebenarnya tertuang dalam Permendikbudristek No. 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Dalam regulasi itu dituliskan bahwa tugas akhir program studi sarjana dan magister tidak hanya dalam bentuk tesis, tetapi juga bisa berbentuk prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi kelulusan.
Seharusnya kampus, melalui dosen pembimbingnya, melihat kemampuan mahasiswa. Kalau tidak mampu skripsi, ujar Ceceo, bisa diarahkan dalam bentuk lain, misalnya, membuat prototipe atau yang lain yang memungkinkan mahasiswa mengerjakan dan dibimbing langsung oleh dosennya.
Hal senada juga diutarakan oleh pengamat pendidikan Indra Charismiadji, bahwa dirinya lulus dari perguruan tinggi di Amerika Serikat pada tahun 1998 tidak menggunakan skripsi untuk jenjang S-1. Ini artinya Direktorat Pendidikan Tinggi memang harus merevisi dan merestorasi sistem pendidikan nasional, karena ada hal yang secara fundamental keliru dan akan berdampak di masa depan.
Dengan munculnya fenomena joki karya ilmiah yang buka-bukaan di media sosial, masyarakat umum sudah tahu ada praktik perjokian dan pelanggaran lainnya di dalam institusi pendidikan. Lalu apakah masuk akal jika perguruan tinggi mengaku tidak tahu hal itu telah terjadi di dalam pagarnya?
Kemenristek Dikti tidak boleh mendiamkan lembaga pendidikan yang seharusnya jadi tempat menuntut ilmu, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan pengembangan diri, malah berubah jadi tempat sekadar mencari stempel kelulusan.
"Misalkan insinyur sipil yang dipercaya membangun jembatan tapi dia lulus pakai joki. Potensi jembatan ambruk besar terjadi karena dia tidak menguasai ilmunya. Itu yang enggak pernah dipikirkan, padahal semua tindakan ada konsekuensinya," katanya.
Baca juga: Wali Nanggroe kumpulkan rektor untuk kirim anak Aceh belajar ke Singapura dan Rusia
Direktur Jenderal Dikti Abdul Haris ketika dihubungi belum membalas permintaan wawancara yang dikirimkan ANTARA melalui pesan singkat dan telepon.
Meski demikian, pada publikasi di website resmi Kemdikbudristek yang diterbitkan pada 3 Agustus 2024, Abdul Haris menekankan pentingnya peran pimpinan perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan pendidikan tinggi di Indonesia. Pemimpin perguruan tinggi harus mampu memberikan solusi atas tiga hal, yakni masalah ketimpangan akses, ketimpangan kualitas, dan relevansi.
Ketimpangan kualitas juga menjadi hal yang harus diperbaiki. Implementasi kebijakan seperti Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi atau kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) tidak bisa diterapkan secara merata di semua perguruan tinggi karena perbedaan karakteristik masing-masing kampus.
Untuk itu, ia menekankan perlunya standar kualitas yang sesuai dengan kondisi setiap universitas, baik dari segi infrastruktur (hardware), sumber daya manusia (humanware), maupun jaringan (netware).
Relevansi pendidikan tinggi terhadap kebutuhan masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri. "Relevansi itu terkait produk dan outcome yang harus dimiliki perguruan tinggi. Pertama, relevansi dari sisi kelulusan. Kemudian, yang kedua dari sisi produk dari riset dan inovasi," katanya.
Agar pelanggaran tidak bertambah liar, sudah saatnya lembaga pendidikan tinggi lebih cermat menelaah setiap karya ilmiah, termasuk skripsi.
Apa pun, perguruan tinggi ikut bertanggung jawab dalam membentuk kualitas dan integritas setiap lulusannya.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menguak joki skripsi perguruan tinggi
Menguak joki skripsi di perguruan tinggi
Oleh FB Anggoro Minggu, 11 Agustus 2024 15:21 WIB