Idi (Antaranews Aceh) -Tingkat buta aksara terbanyak di Aceh hingga tahun 2018 ini berkisar 1,75 persen dan itupun berada di wilayah pedesaan. namun demikian jika diukur secara nasional, provinsi ini berhasil memerangi buta aksara.
Penegasan itu disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Syaridin, S.Pd, M.Pd, saat membaca sambutan tertulis Plt Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT, pada peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke 53 tahun 2018, yang berlangsung, Sabtu (15/12/2018), di Lapangan Pusat Pemerintahan Pemkab Aceh Timur.
"Meski demikian, upaya kita menghapus buta aksara akan terus ditingkatkan agar dalam dua tahun ke depan agar Aceh bebas dari buta aksara," katanya.
Untuk itu, katanya lagi, perlu dukungan dari pihak dalam rangka memperkuat tekad melawan buta huruf di provinsi Aceh ini, sehingga upaya mencerdaskan rakyat dapat terwujud.
"Dalam rangka memperkuat semangat melawan buta aksara itu, pada peringatan hari Buta Aksara Internasional tahun ini kita peringati dengan berbagai kegiatan ilmiah, termasuk pameran literasi. Hal ini sejalan dengan tema hari Aksara Internasional yang kali ini mengusung topic, Literacy and skill Development atau Kecerdasan literasi dan Kemampuan untuk berkembang," ujar Kadisdik Aceh mengutip pidato Plt Gubernur Aceh.
Menurutnya, tema ini sengaja dipilih karena pihaknya menyadari bahwa peluang bagi seseorang untuk berkembang mutlak harus dibarengi kemampuan membaca.
"Kemampuan membaca juga menjadi acuan untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Karena itu kemampuan membaca merupakan modal dasar bagi setiap orang untuk mencapai cita-citanya," tuturnya.
Ia juga menyampaikan bahwa, Pemerintah Aceh melalui program Aceh Carong tidak hanya bertekad memberantas buta huruf. Bahkan, lebih dari itu ingin menjadikan generasi muda Aceh sebagai anak cerdas (carong) yang mampu bersaing di tingkat nasional.
"Untuk mewujudkan impian itu, beberapa program telah disiapkan oleh Pemerintah Aceh, seperti penguatan keterampilan bagi generasi muda melalui pendidikan vokasional baik formal maupun nonformal," katanya.
Disamping itu juga penyediaan fasilitas pendidikan dan pemberian keterampilan bagi peserta didik, pemerataan rasio dan kompetensi guru untuk semua bidang studi.
"Terlebih penyediaan bantuan pendidikan bagi anak yatim dan anak miskin mulai dari SD hingga perguruan tinggi dan pengiriman putra-putri terbaik Aceh untuk belajar di Universitas-Universitas yang bergengsi di dunia guna memberi kesempatan bagi mereka untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa," tuturnya.
Pemerintah Aceh berharap Pemerintah Kabupaten/kota mendukung semangat ini dengan mengalokasikan anggaran yang cukup bagi kemajuan pendidikan di daerahnya.
"Selain itu, peran aktif warga terdidik juga sangat dibutuhkan dalam penguatan bidang pendidikan ini. Dengan demikian cita-cita kita membangun pendidikan Aceh yang berkualitas dan berdaya guna akan dapat terwujud," katanya melanjutkan.
Untuk itu, bersamaan dengan peringaatan Hari Aksara Internasional kali ini, diselenggarakan sejumlah kegiatan yang kesemuanya berkaitan dengan semangat membaca dan belajar untuk kemajuan dunia pendidikan Aceh.
"Semoga saja rangkaian kegiatan ini mendorong kita semakin peduli terhadap pendidikan Aceh, sehingga keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan benar-benar dapat kita buktikan," sambungnya.
Dijelaskan, Hari Aksara Internasional merupakan salah satu momentum penting dalam agenda PBB, setelah melihat kenyataan bahwa masih banyak penduduk di dunia yang tidak bisa baca tulis.
"Saat berlangsungnya Kongres Menteri Pendidikan se-Dunia di Taheran 8 September 1965 tingkat kebutaaksaraan itu diperkirakan mencapai 40 persen," terangnya.
Ia menilai, kemampuan membaca juga merupakan 'ibu' bagi setiap peradaban. Bagi wilayah yang ingin maju, kemampuan membaca mutlak sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya. Karena itu perang melawan buta huruf harus ditingkatkan agar semua masyarakat bisa membaca.
"Indonesia termasuk negara yang memberi perhatian sangat besar dalam melawan buta aksara ini. Terbukti dari tahun ke tahun angka buta aksara di negeri kita terus menurun," ibuhnya.
Ia menambahkan, jika pada tahun 2000 angka buta aksara itu mencapai 6 persen, saat ini menurun tajam menjadi 2,07 persen. "Sebagian besar warga yang tidak bisa baca tulis ini tinggal di kawasan pedesaan dan umumnya berusia di atas 50 tahun," tambah dia.
Untuk diketahui, Hari Aksara Internasional ke 53 ini diiukti oleh 20 kontingen dari Kabupaten/Kota denga jumlah peserta seluruhnya sebanyak 2.170 orang.
Pada Hari Aksara Internasional ke 53 ini juga ikut memperlombakan lima cabang perlombaan yaitu, karya nyata pamong pelajar, karya nyata penilik, karya nyata pengelola PKBM, karya nyata Tutor Pendidikan Keaksaraan dan stand pameran.[]
Aceh berhasil perangi buta aksara secara nasional
Minggu, 16 Desember 2018 13:44 WIB