Banda Aceh (ANTARA) - Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh bekerjasama dengan UNICEF perwakilan Aceh menggelar pelatihan peran tokoh agama dan adat di Aceh dalam upaya pemenuhan hak anak, serta penyelesaian masalah anak dalam lingkungan keluarga.
“Kegiatan ini salah satu upaya bersama kita dalam meningkatkan pemahaman tokoh adat dan tokoh agama mengenai situasi pemenuhan hak anak di Aceh, dan mencari solusi untuk menjawab tantangan dalam pemenuhan hak anak,” kata Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk Faisal Ali, di Banda Aceh, Sabtu.
Dia menjelaskan, Aceh telah melahirkan beberapa qanun (perda) yang berpihak pada anak, seperti Qanun nomor 8 tahun 2008 tentang Pelestarian adat di Aceh yang di dalamnya terdapat pasal-pasal tentang perlindungan anak.
Kemudian juga Qanun nomor 11 tahun 2008 tentang Perlindungan anak, dan Qanun nomor 8 tahun 2015 tentang Pembinaan dan perlindungan aqidah Aceh. Maka menurutnya pemenuhan hak anak merupakan tanggungjawab semua pihak, termasuk tokoh agama dan tokoh adat.
“Berbicara tentang anak, kita berbicara tentang masa depan. Anak lah yang akan mengisi kehidupan di dunia kelak. Anak Aceh itu harus sehat secara akhlak, aqidah, tangguh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan sejahtera,” kata dia.
Kemudian, dia menjelaskan, fenomena sekarang ini berbagai persoalan yang menyangkut dengan anak sangat mengkhawatirkan. Aceh tercatat memiliki angka balita stunting ketiga terbanyak di Indonesia.
Kata dia, stunting tersebut disebabkan beberapa faktor yang langsung berkaitan dengan gizi ibu hamil hingga 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), sanitasi, akses air bersih, penyakit infeksi berulang, hingga ketersediaan pangan dan kondisi sosial ekonomi.
Dan juga, penyebab lain rendahnya cakupan imunisasi pada anak di provinsi paling barat Indonesia tersebut juga berisiko menyebabkan infeksi berulang dan wabah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), karena tidak adanya kekebalan kelompok di masyarakat.
“Di sisi lain, kasus kekerasan terhadap anak di Aceh juga cukup tinggi, bahkan angkanya merupakan yang tertinggi ketiga seluruh provinsi di pulau Sumatera. Dan kasus kekerasan seksual pada anak menjadi jenis kasus yang paling banyak dilaporkan,” katanya.
Perwakilan UNICEF Aceh Muhammad Afrianto Kurniawan mengatakan pihaknya bekerjasama dengan pemerintah Aceh dalam mendukung upaya pemenuhan hak anak, diantaranya penurunan angka malnutrisi atau stunting di Aceh serta upaya pencegahan kekerasan terhadap anak. Kemudian, peserta pelatihan tersebut berasal dari delapan kabupaten/kota di Aceh yakni Sabang, Aceh Jaya, Aceh Singkil, Simelue, Gayo Lues, Aceh Selatan, Pidie dan Nagan Raya.
Kata dia, berdasarkan konvensi hak anak PBB tahun 1989 dan undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, pemenuhan hak anak merupakan tanggung jawab semua pihak.
“Yaitu orang tua, keluarga, pemerintah daerah, dan setiap unsur masyarakat, termasuk di dalamnya tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat lainnya yang harus dihormati, dipenuhi, dilindungi dan dijamin pemenuhannya,” katanya.