Takengon, Aceh (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah diminta dapat mencari solusi pengganti kimia glyphosate ke bahan organik sebagai alternatif yang bisa digunakan oleh petani kopi di daerah itu untuk membasmi hama rumput di kebun.
Hal itu bertujuan agar produk kopi gayo tidak lagi terkontaminasi oleh unsur-unsur non organik, sebagai upaya menjawab tuntutan pasar global saat ini dan di masa depan yang diprediksi akan semakin ketat memberlakukan ambang batas terhadap kandungan kimia glyphosate.
Baca juga: Eksportir keluhkan kopi Gayo ditolak buyer Eropa
Pelaku kopi di Aceh Tengah, Djumhur, kepada wartawan, Selasa, mengatakan bahwa persoalan adanya kandungan unsur glyphosate pada kopi gayo organik yang belakangan dikabarkan menjadi alasan penolakan ekspor ke sejumlah negara di Eropa, seharusnya ditanggapi sebagai warning bagi masa depan kopi gayo organik.
"Karena itu kita mendorong pemerintah mencari solusi, apakah bekerjasama dengan LIPI, membuat penelitian untuk menciptakan bahan yang bisa membunuh rumput. Tapi organik, tidak mengandung bahan kimia," kata Djumhur.
Baca juga: Terkait zat kimia di kopi Arabika, Pemda Aceh Tengah menunggu hasil tim peneliti
Menurutnya, perkembangan tuntutan pasar global saat ini dan di masa yang akan datang untuk komoditi pertanian akan semakin ketat, dalam hal memberlakukan ambang batas terhadap unsur kimia yang terkandung di dalamnya.
"Yang paling ekstrim sebetulnya Jerman, malah Jerman itu menargetkan tahun 2025 itu nol glyphosate. Nah artinya, baik produk yang ada di negara mereka maupun produk yang masuk ke negara mereka, itukan harus nol glyphosate. Lantas kalau itu yang terjadi maka berarti kopi kita kan tidak bisa masuk ke sana. Nah itu yang seharusnya kita lihat," tuturnya.
Baca juga: Mantan Bupati: sertifikat Uni Eropa untuk kopi gayo bukti penjaminan mutu
Djumhur menuturkan bahwa dalam hal ini kopi Arabica gayo sebagai komoditi pasar dunia, juga sudah seharusnya mulai bersiap untuk bisa mengikuti tuntutan pasar tersebut, yakni dengan cara merubah pola budidayanya mulai saat ini.
"Kita harus merubah pola. Nah ini lah yang tidak gampang. Harus bersama-sama, koperasi memberikan penyuluhan, mendampingi petani, pemerintah juga ikut," ujarnya.
Lebih jauh menanggapi hangatnya pembahasan di tengah masyarakat Gayo belakangan ini, terkait pemberitaan tentang adanya penolakan ekspor kopi gayo organik ke sejumlah negara di Eropa, karena disebut mengandung unsur glyphosate di atas ambang batas, Djumhur menilai hal itu seharusnya menjadi peringatan serius untuk masa depan kopi gayo.
"Jadi apa yang disampaikan kak Rahmah itu kan fakta sebenarnya, fakta yang harus dilihat efek positifnya. Jadi maksud efek positifnya begini, kalau itu seandainya terus-terusan begitu, apakah kopi kita ini tidak terancam, itu maksudnya," ucap Djumhur.
Lanjutnya, untuk saat ini semua pihak seharusnya bisa menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia dalam budidaya kopi Arabica gayo masih terjadi, khususnya penggunaan glyphosate untuk membasmi hama rumput di kebun kopi.
"Itu kan kita melihat sendirilah di lapangan itu bagaimana, kalau yang penyemprotan itu kan tetap ada di lapangan. Ini menjadi persoalan kita semua sebetulnya," ujarnya.
Terkait keberadaan koperasi kopi yang selama ini membina kelompok tani organik, pria yang juga aktif sebagai Manager Sertifikasi Kopi Koperasi Permata Gayo ini menjelaskan bahwa aturan di setiap koperasi memang tidak membolehkan anggotanya memakai bahan-bahan kimia dalam budidaya.
Namun, kata dia, unsur glyphosate bisa saja terkontaminasi dari lingkungan sekitar yang lepas dari pengawasan pihak koperasi.
"Dari sisi koperasi kita tetap audit petani, memeriksa lahan, kalau ada temuan pemakaian herbisida kita keluarkan dari keanggotaan. Nah tapi, itu kan kontaminasi bisa dari mana-mana, bisa dari kebun tetangga, dari jalan, itu bisa saja," sebut Djumhur.
Djumhur sendiri mengaku bahwa sebagai eksportir kopi gayo organik pihaknya selama ini juga pernah mendapat penolakan ekspor oleh buyer, karena alasan kandungan glyphosate pada produk yang dikirim telah berada di atas ambang batas yang ditentukan, yakni maksimal 0.01 mg, sehingga produk tersebut tidak lagi bisa disebut organik.
"Kita pun pernah ada penolakan, cuma setelah ditolak kita menjualnya konvensional, tidak organik. Nah itukan menjadi warning ke kami. Berarti di kopi kita memang ada kandungan itu, sekalipun kita sudah selektif betul dalam panen, dalam memantau petani, tapi masih tetap ada. Berarti kan memang ada kontaminasi yang kita tidak prediksi sebelumnya," tutur Djumhur.
Karena itu, Djumhur kembali menekankan bahwa persoalan kopi gayo saat ini yang disebut mengandung glyphosate, seharusnya dapat dijadikan pembelajaran bersama oleh semua pihak dalam upaya untuk terus menjaga kualitas komoditi unggulan tersebut.
Dia juga berharap agar pemerintah daerah dalam hal ini juga bisa memberikan respon positif dengan segera menerbitkan Perbub atau qanun tentang budidaya dan perlindungan kopi gayo seperti yang selama ini diharapkan oleh banyak pihak.
"Jadi saran saya marilah kita melihat ini sebagai pembelajaran. Dilihat efek positifnya, jangan dibawa kesana kemari," ucapnya.