Takengon, Aceh (ANTARA) - Mantan Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin mengatakan kopi Arabica Gayo yang telah mengantongi sertifikat pengakuan mutu dari Uni Eropa sejak tahun 2016 dan juga Sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari Kementerian Hukum dan HAM RI pada tahun 2010, merupakan bukti penjaminan mutu terhadap komoditi tersebut, karena kedua sertifikat tersebut didapat melalui proses yang ketat.
Hal itu disampaikan Nasaradudin menanggapi hangatnya pembahasan di tengah masyarakat Gayo saat ini terkait informasi bahwa kopi gayo saat ini mendapat penolakan oleh buyer dari negara-negara di Eropa, karena disebut mengadung kimia glyphosate di atas ambang batas.
Baca juga: Terkait zat kimia di kopi Arabika, Pemda Aceh Tengah menunggu hasil tim peneliti
Nasaruddin di halaman facebooknya, Minggu (13/10), menuliskan tanggapan yang pada intinya menegaskan bahwa kopi Arabica Gayo merupakan komoditi unggulan yang memiliki penjaminan mutu ketat dan standar kualitas terbaik yang bahkan telah diakui oleh Uni Eropa sejak tahun 2016.
"Mengenai adanya penolakan kopi Arabika Gayo oleh beberapa buyer di Uni Eropa, saya telah berkomunikasi langsung dengan Ibu Rahmah, bahwa kopi yang ditolak oleh beberapa buyer dimaksud adalah kopi yang tergolong konvensional," sebut Nasaruddin.
Baca juga: GMNI desak DPRK gelar Pansus terkait kopi gayo ditolak buyer Eropa
Dalam hal ini, Nasaruddin mencoba menegaskan bahwa untuk kopi Arabica Gayo katagori organik sampai saat ini tidak bermasalah dan masih diterima oleh pasar dunia.
"Kopi Arabika Gayo organik yang diekspor oleh beberapa eksportir lainnya, termasuk yang diekspor oleh Ibu Rahmah ke berbagai negara tujuan, sampai saat ini belum ada permasalahan," tulisnya.
Baca juga: Eksportir keluhkan kopi Gayo ditolak buyer Eropa
Nasaruddin menjelaskan dua sertifikat yang saat ini telah dimiliki oleh kopi Arabica Gayo, yaitu sertifikat IG dan sertifikat Uni Eropa, merupakan sebuah bentuk pengakuan terkait mutu dan keorisinilan kopi gayo, karena diperoleh dengan segala persyaratan dan pengawasan yang ketat, termasuk dalam hal penggunaan pupuk kimia yang tidak melampaui ambang batas.
"Setelah melalui proses yang relatif panjang, tahun 2010 Kemenkumham menerbitkan Sertifikat IG Kopi Arabika Gayo. Salah satu pertimbangan tentu menyangkut penggunaan bahan kimia yang masih di bawah batas yang diperkenankan," tutur mantan Bupati Aceh Tengah dua periode ini.
Hal yang sama, kata Nasaruddin, juga berlaku saat Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah bersama Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) pada tahun 2014 mendaftarkan kopi Arabica Gayo ke Uni Eropa.
"Pihak berwenang dari Uni Eropa melakukan penelitian ke Dataran Tinggi Gayo, habitat tanaman kopi Arabika Gayo. Penelitian cukup detail, meliputi tanah/lahan budidaya, daun kopi, dan buah kopi hijau (yang masih di pohon). Alhamdulillah, semua memenuhi persyaratan. Tahun 2016, kopi Arabika Gayo mendapat sertifikat dari Uni Eropa," ujar Nasaruddin.
Tidak hanya itu, tutur Nasaruddin, dalam perjalanannya kopi Arabica Gayo juga terus mendapatkan pengawasan dari Uni Eropa guna menjamin mutu dan kualitasnya tetap terjaga.
"Selanjutnya untuk menjamin mutu yang dipersyaratkan, setiap tahunnya melalui lembaga berwenang di Uni Eropa, tetap melakukan penelitian terhadap biji kopi Arabika Gayo. Alhamdulillah, selalu memenuhi persyaratan," sebutnya.
Menurut Nasaruddin, sampai saat ini perilaku petani kopi di sana dalam tata cara perawatan kebun kopi juga masih tergolong alami dengan tingkat penggunaan bahan-bahan kimia yang masih di bawah ambang batas.
"Menurut pengamatan saya di lapangan, perlakuan petani dalam hal budidaya kopi Arabika gayo pada saat sebelum mendapat sertifikat IG dan sertifikat dari Uni Eropa, sampai saat ini, tidaklah terlalu berbeda. Terutama, dalam hal penggunaan bahan kimia (pupuk, herbisida, maupun pestisida). Menurut hemat saya, masih di bawah ambang yang diperkenankan," tutur Nasaruddin.
Selain itu, Nasaruddin juga menyampaikan informasi bahwa pasar utama ekspor kopi Arabica gayo saat ini adalah Amerika dengan volume ekspor mencapai 75 persen tiap tahunnya.
"Volume ekspor kopi Arabika gayo 75 persen ke Amerika Serikat, 15-20 persen ke Uni Eropa, dan lainnya ke Asia terutama Jepang serta beberapa negara lainnya," sebut Nasaruddin.
Terakhir, sosok mantan penyuluh pertanian ini juga berharap semua pihak di Gayo saat ini untuk dapat terus memberikan perhatian serius terhadap perkembangan budidaya kopi Arabica gayo, termasuk dalam hal peningkatan produksi dan mutu untuk menyejahterakan masyarakat di sana yang mayoritasnya merupakan petani kopi.
"Mengingat kopi Arabika gayo adalah komoditi utama dalam perekonomian masyarakat di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan sebagian masyarakat Gayo Lues yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah serta nasional melalui pemasukan devisa negara," tuturnya.