Banda Aceh (ANTARA) - Bangunan Balee Juang (Balai Juang) bercat putih peninggalan kolonialisme Belanda itu tepat berada di tengah pusat kota Langsa, provinsi Aceh. Arsitekturnya bergaya Eropa.
Di kanan gedung berdiri tegap tiang yang mengikatkan bendera merah putih. Suara kendaraan terdengar riuh berlalu-lalang di sekeliling luar gedung.
Menginjakkan kaki ke dalam gedung, susana langsung berubah. Hening. Suara kendaraan nyaris tak terdengar. Dinding-dinding penuh dengan koleksi benda bersejarah. Di sudut kanan dalam gedung terlihat pria dewasa mengenakan baju merah asyik memotret benda-benda itu yang terletak di dalam kaca.
Di sudut lain, dua perempuan juga tengah membaca bait per bait deskripsi dari naskah-naskah kuno yang dipamerkan. Di tengah sekelompok orang, seorang pemandu juga sibuk menjelaskan berbagai materi terkait sejarah dalam gedung tersebut. Balee Juang itu merupakan Museum Kota Langsa.
Seorang pengunjung mahasiswa dari Banda Aceh, Safrizal berkomentar, museum kota Langsa itu sangat tepat menjadi destinasi wisata sejarah dan pusat kajian sejarah.
"Koleksi benda bersejarah yang dipamerkan di sini memiliki nilai, referensi yang kuat, dan dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan," kata dia memuji.
Kehadiran museum itu tampaknya diharapkan bisa membuat masyarakat menambah pengetahuan terkait sejarah kota Langsa maupun provinsi Aceh serta tidak melupakan peradaban Islam di provinsi berjuluk bumi serambi mekkah tersebut.
Peduli Sejarah
Kepala Seksi Cagar Budaya dan Museum Dinas Pendidikan dan Kabudayaan (Disdikbud) kota Langsa, Riza Arizona mengatakan museum itu baru diresmikan dan terbuka untuk umum pada 22 Januari 2019.
Meski baru dibuka, museum diharapkan menjadi tujuan masyarakat Kota Langsa dan Aceh secara umum, untuk menjadikannya sebagai pusat kajian sejarah.
"Kita harapkan generasi muda yang datang peduli terhadap sejarah. Dengan begitu ke depan mereka akan sangat serius belajar sejarah sehingga mereka jadi mengetahui dan tidak pernah melupakan sejarah," kata dia.
Di samping itu, kata dia, museum itu juga dikembangkan menjadi destinasi wisata sejarah baru di Aceh yang dapat dikunjungi wisatawan nasional maupun mancanegara.
Ia mengatakan, pihaknya akan terus mengembangkan museum itu, tidak hanya menampilkan gambar, benda, berserta deskripsinya tentang berbagai bukti sejarah namun juga menampilkan audio visualnya sehingga generasi muda mudah memahami.
"Makanya dengan begitu kita membutuhkan dukungan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Begitu juga untuk renovasi gedung ini agar terlihat lebih baik," katanya.
Riza menjelaskan sejarah singkat tentang museum kota Langsa tersebut. Menurut dia, pada zaman kolonial dulu Balee Juang itu merupakan gedung dagang. Bangunan yang didirikan pada 1920 dan beralamat di jalan A Yani pusat kota Langsa tersebut menjadi kantor perdagangan Hindia-Belanda.
Kemudian pascakemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), gedung itu juga pernah digunakan sebagai kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Timur, sebelum daerah itu mekar dari Aceh Timur menjadi kota Langsa pada 2001.
"Sejalan dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia gedung ini direbut oleh pejuang-pejuang kemerdekaan untuk dijadikan sebagai tempat perkumpulan para pejuang kemerdekaan pada masa itu," katanya.
Menurut dia, di gedung itu terjadi peristiwa bersejarah untuk kota Langsa ketika Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Masyarakat menghapus mata uang Belanda sebagai alat tukar.
Sembari menunggu dikeluarkannya mata uang Republik Indonesia, penguasa daerah masa itu menerbitkan Bon Kontan bernilai Rp100 dan Rp250 sebagai alat tukar. Uang itu dicetak pada 1949 di Balee Juang tersebut.
"Ini merupakan peristiwa sejarah di gedung ini, sejarah dicetaknya sebuah Bon Kontan yaitu mata uang Indonesia masa itu sebagai alat tukar, dan sampai sekarang masih kita simpan koleksi Bon Kontan di museum ini," katanya.
Riza menjekaskan, ketika mekar dengan kabupaten Aceh Timur, kota Langsa terus berbenah. Dulunya Balee Juang itu di bawah kendali Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Langsa. Lalu pada 2017 berubah nomenklatur ke bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Langsa.
Pascaperubahan mandat itu dinas terkait langsung fokus mengelola gedung tersebut dengan mengisi gedung museum dengan berbagai macam koleksi benda bersejarah.
"Dari 2015 hingga 2017 kita melakukan pembelian koleksi, mengumpulkan beberapa bukti sejarah dari kolektor, sehingga pada 2019 setelah perubahan nomenklatur itu baru kita bisa meresmikan gedung ini sebagai museum kota Langsa," katanya.
Dikatakan Rizal, museum itu berisikan benda-benda menyangkut sejarah Aceh serta sejarah peradaban Islam.
Mulai dari peralatan rumah tangga hingga benda-benda kerajaan seperti keramik kuno, piring saladon, guro saladon dan sebagainya. Dan juga koleksi senjata perjuangan, perhiasan serta alat-alat yang digunakan masyarakat Aceh untuk mencari rezeki seperti langai dan cree.
"Termasuk kita lihat banyak naskah kuno, Alquran kuno, peralatan rumah tangga atau kerajaan, bon kontan, beberapa senjata yang digunakan para pejuang kolonial pada masa itu. Koleksi-koleksi ini ada yang kita beli, ada juga hibah dari kolektor," katanya.
Wisata Baru
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh juga sedang melakukan program pengembangan pariwisata baru di Aceh. Daerah paling barat Indonesia itu tidak lagi hanya mau mengandalkan destinasi wisata di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan Kota Sabang.
Disebutkan Kabid Pengembangan Usaha Pariwisata dan Kelembagaan Disbudpar Aceh, Ismail, wisatawan nasional maupun luar negeri juga harus melihat tujuan wisata lainnya di Aceh dari sisi pantai barat, selatan, pantai timur Aceh serta wilayah Aceh bagian tengah.
Maka sejalan dengan itu, Disbudpar Aceh melakukan kegiatan Familiarization Trip (Fam Trip) ke pantai timur Aceh yakni kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang sebagai upaya pengembangan produk wisata.
Disbudpar Aceh pun memboyong puluhan pelaku usaha pariwisata di Aceh atau travel agent agar dapat mengemas paket wisata baru untuk wisatawan.
"Tujuan kita untuk memperkenalkan destinasi wisata baru, selain yang selama ini dikenal seperti produk wisata di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang," katanya.
Dia menjelaskan, selama ini Aceh hanya terkenal dengan keindahan Pulau Weh di Sabang, serta wisata sejarah yang ada di Banda Aceh dan Aceh Besar, sedangkan daerah-daerah lain belum tergarap.
Padahal daerah serambi Mekkah itu sebenarnya memiliki lokasi-lokasi lain yang potensial, seperti ketika ke Kota Langsa dan Aceh Tamiang. Tampaknya Aceh membutuhkan spot-spot wisata baru agar wisatawan tidak bosan ketika menyambanginya.
Karena itulah, para pelaku usaha pariwisata di Aceh sangat diharapkan bisa menciptakan paket wisata baru untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Aceh dengan dukungan Pemerintah Aceh.