Tanjung Selor (ANTARA) - Di tengah keprihatinan bangsa Indonesia menghadapi pandemi COVID-19, kini muncul masalah baru yang kian menguras energi positif bangsa Indonesia.
Padahal, pakar kesehatan menganjurkan dalam menghadapi virus global yang mematikan ini perlu 0menjaga imun tubuh dengan menjauhi beban pikiran.
Faktanya, di tengah pandemi COVID-19 lahir RUU kontroversial dan kontraproduktif sehingga menimbulkan kegaduhan, yakni Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Aksi demontrasi penolakan RUU HIP yang melibatkan puluhan hingga ribuan orang terjadi secara masif di berbagai daerah. Salah satunya, aksi ribuan massa yang mengepung DPR RI Kamis (16/7) yang mengatasnamakan diri Aliansi Nasional Antikomunis menyatakan untuk menolak RUU HIP atau Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP).
Kelompok lain menuntut Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dihentikan.
Polisi menerjunkan 3.600 personel gabungan untuk mengamankan situasi dan rekayasa lalu lintas mencegah kemacetan parah.
Kondisi itu dikhawatirkan memperparah menyebar COVID-19 karena masalah physical distancing serta syarat lain sesuai dengan protokol kesehatan.
Lahirnya rancangan undang-undang kontroversial itu (merujuk laman resmi DPR) RUU HIP setidaknya sudah dibahas tujuh kali, baik tertutup maupun terbuka, dari Februari 2020 hingga 26 Juni 2020.
Rapat-rapat dipimpin langsung oleh Wakil Ketua Baleg DPR RI Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka. Rieke juga ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) untuk RUU tersebut.
Pada tanggal 22 April 2020, rapat Baleg mengambil Keputusan Fraksi, saat itu hanya PKS yang menolak, alasannya konsideran RUU HIP tidak merujuk pada TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Pada tanggal 12 Mei, DPR RI resmi menetapkan RUU itu menjadi inisiatif DPR dan menunggu surpres (surat presiden) persetujuan Presiden Joko Widodo untuk pembahasan selanjutnya.
Para akademisi menyoroti RUU HIP karena dianggap banyak mengandung pasal-pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement.
Pasal-pasal di RUU HIP dianggap multitafsir sehingga justru dianggap mengaburkan makna Pancasila itu sendiri.
Tentu yang paling disorot adalah materi muatan di dalam Pasal 7 RUU HIP, yakni terkait dengan ciri pokok Pancasila sebagai Trisila yang kristalisasinya dalam Ekasila.
Pemerintah Menolak
Pihak yang menolak RUU HIP mulai dari pimpinan MPR RI, pimpinan DPD RI, dan sebagian fraksi di DPR, dan Menkopolhukam.
Mahfud MD dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (15/7/2020) menegaskan bahwa pemerintah tetap menolak RUU HIP yang dibahas di DPR RI.
Pemerintah memiliki dua alasan menolak RUU HIP, yakni: Pertama, pemerintah kini ingin lebih fokus pada penanganan COVID-19; Kedua, materi RUU HIP hingga kini masih menjadi pertentangan dan perlu menyerap banyak aspirasi sehingga meminta DPR lebih banyak lagi mendengar pendapat masyarakat.
Jika bicara Pancasila, kata dia, ketetapan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 itu harus menjadi dasar pertimbangan utama sesudah UUD NRI Rahun 1945.
Secara prosedural, pemerintah tidak mencabut RUU karena diajukan oleh dewan. Namun, mengembalikan pembahasan kepada legislatif.
Penolakan juga dari berbagai organisasi, antara lain NU, PGI, KWI, PHDI Muhammadiyah, Hikmabudhi, Matakin, MUI, FPI, PP (Pemuda Pancasila), Legiun Veteran RI, Asosiasi Dosen se-Indonesia, Aliansi Perempuan Peduli Indonesia, GP Anshor, dan ICMI.
Berbagai aksi penolakan terjadi, mulai aksi demontrasi, pernyataan sikap di media mainstream hingga bertemu langsung dengan wapres dan presiden.
Juga tak kalah maraknya aksi penolakan di media sosial yang lengkap dengan berbagai meme, termasuk "Pancasila bukan jeruk yang harus diperas-peras".
RUU HIP diusulkan oleh DPR dan ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2020.
Latar belakang RUU HIP terkait dengan belum ada UU mengatur Haluan Ideologi Pancasila sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila Sudah Final
Kekhwatiran meluasnya gejolak di tengah masyarakat menjadi topik paling hangat terungkap dalam dialog daring Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) via aplikasi CiscoWebex meeting, Selasa (30/6).
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis menyatakan bahwa Pancasila sudah final, tak mungkin diubah lagi.
Merombak Pancasila, menurut dia dalam acara dengan tema "Melawan Dua Virus Mematikan Radikalisme dan COVID-19", berarti mengubah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Jika itu terjadi, sama saja membubarkan bangsa Indonesia. Mengingat Pancasila yang ada dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah "Perjanjian Luhur" bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara sesuai di Pembukaan UUD 1945 merupakan hasil kesepakatan bersama para pendiri bangsa.
Ia menegaskan bahwa tidak berbicara dari perspektif politik namun murni tentang sejarah lahir dan keberadaan bangsa Indonesia.
Pertanyaan dan saran dari sejumlah FKPT provinsi juga sebagian besar masih terkait dengan RUU HIP, termasuk disampaikan oleh Ketua FKPT Kaltara Basiran Lazaidi dalam forum itu.
Basiran yang juga Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kaltara itu menyampaikan kisruh RUU HIP harus diakhiri karena berpotensi menimbulkan konflik dan radikalisme.
Mengingat RUU HIP terkait dengan kebijakan politik, jika presiden menolaknya, sebaiknya DPR membatalkan RUU itu.
Dialog virtual juga menghadirkan Direktur Pencegahan BNPT Irjen Pol. I.R. Hamli M.E., Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisme BNPT Mayjen TNI Hemdri Paruhuman Lubis dan Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat BNPT DR Andi Intang Dulung.
Potensi Radikalisme
Perkembangannya, pihak menolak menginginkan agar RUU HIP dicabut dari Prolegnas, sedangkan DPR RI berniat "mengganti baju" RUU HIP dengan RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila).
Agaknya perlu pertimbangan komprehensif dalam menentukan kelanjutannya RUU HIP (mencabut atau ganti baju) jika melihat tingginya resistensi terhadap rancangan tersebut.
Fakta sejarah bisa jadi pertimbangan bahwa radikalisme yang merupakan embrio terorisme ternyata hakikatnya bukan lahir dari rahim agama.
Hal itu bisa dibuktikan dari sejarah panjang radikalisme di dunia dan Indonesia.
Fakta sejarah, radikalisme justru lahir dari berbagai faktor, antara lain masalah sosial-ekonomi, politik, penjajahan, penindasan kelompok mayoritas terhadap minoritas, maupun oleh kapitalisme terhadap dunia ketiga.
Fakta sejarah mengungkapkan bahwa faktor politik yang sangat dominan melahirkan radikalisme. Misalnya, bermula dari pembagian kekuasaan dianggap tidak adil, atau kebijakan yang dianggap menindas.
Jelas RUU HIP terkait dengan keputusan politik dan berpotensi menyuburkan benih radikalisme jika "melukai rasa keadilan" masyarat apalagi sampai mengingkari "Perjanjian Luhur" bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, terasa ada "paradoks radikalisme" pada RUU HIP sehingga menimbulkan prasangka siapa sebenarnya yang radikal?