Jakarta (ANTARA) - Nasib pendidikan di tengah wabah virus corona masih menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Keluh-kesah dan nada-nada kejenuhan mewarnai perbincangan itu. Kelelahan fisik psikis terpancar dari raut wajah para orang tua murid.
Hal itu karena ketidakpastian nasib sekolah anaknya. Sekolah yang dimaksud adalah pembelajaran tatap muka secara langsung.
Pembelajaran di sekolah berarti akhir dari peran orang tua sebagai guru pengganti selama sekolah tatap muka ditiadakan kemudian menjadi pembelajaran secara daring (online). Selama itu orang tua bertambah sibuk karena harus memberi penjelasan lanjutan dari materi pelajaran yang telah diberikan guru secara daring.
Namun mengakhiri situasi itu menjadi pembelajaran tatap muka juga menghadapi persoalan yang tak kalah beratnya. Penyebaran virus corona (COVID-19) telah menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak akan terjadinya klaster di sekolah.
Karena itu, betapapun keinginan untuk mengakhiri kejenuhan, kebosanan dan kelelahan akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ) demikian kuat, akhirnya harus menyerah kepada keadaan. Pembelajaran secara daring masih harus dijalani dan entah sampai kapan akan seperti itu.
Situasi masih membutuhkan kesabaran orang tua, guru dan peserta didik untuk menerima kenyataan bahwa wabah telah mengubah segalanya. Situasi yang semula normal harus menyesuaikan dengan kondisi dan keterpaksaan harus menjadi kebiasaan.
Ini adalah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan oleh siapapun dan sampai kapanpun. Kelak akan menjadi cerita yang penting dalam lembaran buku-buku sejarah tentang kesulitan dan bagaimana menghadapi kesulitan itu agar tetap bisa bertahan (survive).
Sekolah
Tetapi meski ada kesulitan dan hambatan akibat wabah virus corona, tak sedikit sekolah yang menggelar pembelajaran tatap muka secara langsung. Kegiatan di sekolah tetap bisa diselenggarakan secara baik.
Yang pasti pembelajaran tatap muka di sekolah itu tetap bisa diselenggarakan di luar DKI Jakarta dan sekitarnya. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terdapat 14 provinsi yang menyatakan siap melakukan pembelajaran tatap muka penuh.
Selain itu ada empat provinsi yang melaksanakan pembelajaran tatap muka tidak penuh (sebagian daring). Selebihnya, 16 provinsi melaksanakan pembelajaran sepenuhnya secara daring atau tatap layar.
Pemerintah pusat memang mengakomodasi aspirasi orang tua dan pemerintah daerah terkait penyelenggaraan pendidikan di tengah pagebluk ini. Tetapi ada syarat yang ketat dan dilakukan pengawasan pula.
Yakni adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi COVID-19.
SKB empat menteri itu memberikan kewenangan kepada daerah terkait pembelajaran. Daerah yang paling tahu bagaimana kondisi COVID-19 di daerah masing-masing.
Atas dasar SKB itu, maka tak heran bila kebijakan pembelajaran antara daerah satu dengan daerah lain bisa beda. Ada yang menyelenggarakan pembelajaran di sekolah secara penuh, ada yang sepenuhnya daring serta ada pula yang campuran, yakni sebagian di sekolah dan sebagian di rumah (online).
Terpencil
Adanya sekolah tetap menyelenggarakan pembelajaran di sekolah menarik perhatian publik. Di tengah lonjakan angka kasus COVID-19 setiap harinya tetapi bisa membuka kegiatan di sekolah adalah luar biasa.
Bagaimana mungkin, sementara wabah virus corona telah meluas hingga 34 provinsi, bahkan virus di 510 kabupaten dan kota di Indonesia? Dimana itu?
Di luar Kota Batam, sebanyak 102 sekolah mulai melaksanakan sistem pembelajaran tatap muka di kelas pada 4 Januari 2021. Hampir delapan bulan murid di sekolah-sekolah itu belajar secara daring.
Namun sekolah-sekolah itu berada di pulau-pulau. Meski pulau-pulau itu sebagai penyangga Kota Batam, Kepulauan Riau, tetapi tetap saja di luar perkotaan.
Dari perkotaan, butuh waktu untuk bisa sampai ke lokasi dengan menyeberangi laut. Bahkan pulau-pulau itu berada di perbatasan antarnegara, seperti Singapura.
Daerah kepulauan itu lazim disebut 3T, yakni terluar, terdepan dan tertinggal. Di daerah 3T, tampaknya hiruk-pikuk wabah ini tak seheboh di perkotaan.
Pembukaan sekolah dilakukan karena kendala dalam pembelajaran secara daring. Kendala itu ada di kalangan orang tua dalam mengakses jaringan telekomunikasi dan kemampuan ekonomi.
Yang utama dari pembukaan sekolah adalah wilayahnya zona hijau dan kuning. Zona hijau ditandai dengan tidak adanya kasus dan zona kuning untuk wilayah dengan kasus COVID-19 yang sedikit sekali.
Persyaratan itu mutlak dan dilakukan pengawasan yang ketat. Selanjutnya dilakukan evaluasi atas penerapan protokol kesehatan oleh pihak terkait.
Artinya, tidak sembarangan bisa dilakukan pembukaan sekolah karena terlebih dahulu harus dilakukan pengecekan dan penilaian oleh pihak-pihak terkait. Kemudian adanya pengawasan dan evaluasi secara rutin.
Berdasarkan SKB empat menteri, hal itu bisa dilakukan tetapi tidak untuk wilayah atau daerah yang masih zona merah. Untuk murid dan orang tua di zona merah tentu masih harus memperpanjang kesabarannya menjalani pembelajaran secara daring atau tatap layar.
Kenyataan mengharuskan semua pihak untuk berjuang bersama-sama mewujudkan daerahnya menjadi zona hijau agar kejenuhan dari sekolah di rumah disudahi dengan kembali ke sekolah.
Tanpa upaya bersama, entah sampai kapan wabah ini.