Visi Pembangunan Pemerintah Aceh versus Mental Birokrasi
Kamis, 19 Desember 2013 17:58 WIB
Oleh Teuku ZulkhairiKata-kata kegagalan pada judul di atas dibuat tanda petik karena merujuk pada persepsi demonstran dari kalangan mahasiswa di depan kantor Gubernur Aceh beberapa waktu lalu. Menurut mereka, Pemerintahan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf (Zikir) telah gagal dalam memimpin dan menyejahterakan rakyat Aceh (jppn, 8/11). Persepsi “gagal” tersebut kita yakin tidak sepenuhnya benar, meski juga tidak semuanya salah. Tidak sepenuhnya benar karena mengingat usia pemerintahan Zikir yang masih belia, dan tidak sepenuhnya salah mengingat adanya persoalan-persoalan dalam kepemimpin Zikir. Bahkan, Zikir sebenarnya telah melakukan hal yang tepat saat menyusun formasi SKPA kepada yang benar-benar berkompeten seperti jabatan kepala Baitul Mal, Bappeda, DSI dan sebagainya. Langkah tersebut juga semakin cemerlang karena ditambah oleh eksisten Wakil Gubernur, Muzakkir Manaf yang rajin terjun ke lapangan menjumpai masyarakat. Jika melihat muallem, sebenarnya sosoknya bisa disandingkan dengan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi. Hanya saja, blusukan Muallem tidak terekpos layaknya Jokowi yang berita tentangnya cenderung berlebihan dan terlalu mengada-ada. Muallem tidak diragukan lagi merupakan sosok yang berkharisma dan tegas, tidak neko-neko, tidak banyak cakap dan serta juga tegas. Setidaknya, begitulah cerita dari orang-orang yang pernah menjumpainya.Selain itu, adanya keinginan untuk berhasil dalam memimpin terlihat dari janji-janji yang disampaikan saat berkampanya sebelum terpilih sebagai pemimpin. Semua janji itu kemudian dirangkum dalam visi politik mereka, yaitu mewujudkan “Aceh yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan mandiri berlandaskan UUPA sebagai wujud MoU Helsinki”. Visi ini kemudian dijabarkan dalam misi yang dibagi dalam 5 poin, yaitu, pertama, Memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui implementasi dan penyelesaian turunan UUPA untuk menjaga perdamaian yang abadi; kedua, Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan nilai-nilai Dinul Islam di semua sektor kehidupan masyarakat; ketiga, Memperkuat struktur ekonomi dengan kualitas sumber daya manusia; keempat, Mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan Sumber Daya Alam. Kelima, Melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi dan berkelanjutan.Mental birokrasiLalu apa masalahnya? Mengapa Zikir dipersepsikan “gagal” dalam memimpin? Apa sebenarnya yang menjadi masalah dalam merealisasikan semua janji politik Zikir dan visi pembangunan mereka? Jawabannya, kendala terbesar adalah mental birokrasi. Ya, mental birokrasi. Ketika Zikir mulai memimpin, maka sejak hari pertama, semua visi kepimimpinannya telah jatuh dalam kendali birokrasi. Mental birokrasi kita bisa disebut sangat versus visi pembangunan politik Zikir. Sebenarnya, persoalan mental birokrasi di Aceh adalah bagian dari rentetan panjang persoalan mental birokrasi di Indonesia. Birokrasi di Indonesia terkenal melempem di dunia, mal administrasi dan kleptokrasi (Dewi Aryani, Sindo/3/1/2013).Mental birokrasi di Aceh pun umumnya masih project oriented, apapun kegiatan yang diselenggarakan orientasinya adalah proyek. Kalau tidak masuk uang ke kantong mereka, sebuah kegiatan atau program tidak akan bisa berjalan meskipun itu untuk kepentingan masyarakat. Padahal, mereka sudah digaji oleh rakyat bukan? Mengapa ini terjadi? Karena maidseat berfikir birokrasi kita umumnya masih melihat posisi mereka sebagai “raja” yang harus dilayani oleh masyarakat, padahal mereka adalah pelayan yang gaji mereka berasal dari keringat masyarakat.Sangat sedikit birokrasi yang bermental pelayan yang paham bahwa mereka sudah digaji oleh rakyat sehingga tidak akan melihat setiap kegiatan dengan orientasi proyek. Ini sebab sehingga Tim Penilai Kinerja Pelayanan Publik Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara menyatakan bahwa berdasarkan hasil survei tahun 2011 terhadap 183 negara, Indonesia menempati urutan ke-129 dalam hal pelayanan publik. Indonesia masih kalah dari India, Vietnam,atau bahkan Malaysia yang sudah menempati urutan ke-61 dan Thailand di urutan ke- 70.Persoalan selanjutnya pada mental birokrasi kita adalah kurang hidupnya nalar kreatifitas untuk menghidupkan inovasi-inovasi baru dalam pelayanan mereka kepada masyarakat. Birokrasi kita sangat kaku sehingga sulit terlibat dalam berbagai agenda pembangunan yang dicanangkan Zikir. Birokrasi kita masih terjebak pada juknis dan juklak yang vertikal. Padahal, di era otonomi daerah, dengan berbagai kekhususan Aceh, birokrasi kita seharusnya lebih berani lagi dalam menghadirkan inovasi-inovasi baru dalam pelayanan kepada masyarakat dengan menghadirkan berbagai program-program pembangunan secara terpadu.Sebagai contoh misalnya, seberapa banyak instansi pemerintah yang menyusun program kerja tahunan yang betul-betul mengarah pada upaya untuk merealisasikan visi pembangunan Zikir? Umumnya dalam setiap momentum penyusunan program kerja tahunan, mereka jarang sekali berfikir keras untuk menyusun program kerja, apalagi jika waktu penyusunannya juga kepepet. Selain juga tidak ada yang mengarahkan mereka karena pimpinan pun tidak sempat berfikir sampai pada proses penyusunan program kerja tahunan bidang-bidang instansi yang dipimpinnya, padahal disinilah kunci suskesnya sebuah instansi pemerintah dalam menyahuti agenda pembangunan yang dicanangkan pemerintah.Mereka memaksa diri dengan hanya memanfaatkan SDM lingkungan instansi mereka dalam menyusun program-program kerja sehingga yang terjadi bukan hanya copy paste program tahun lalu, tapi juga justru menyusun program dengan hanya melihat potensi dan celah pemasukan untuk pribadinya dari setiap program yang disusun, seperti “program ini berapa honor untuk saya, atau berapa kali bisa melakukan perjalanan dinas”. Alhasil, uang keringat rakyat dan hasil alam negeri ini hanya untuk memperkaya dan membuah mereka bahagia saja. Tidak lebih.Benahi mental birokrasiPada titik ini, bagi Zikir yang saat ini memimpin Aceh, mau tidak mau harus melihat persoalan mental birokrasi ini secara serius. Zikir harus sering “blusukan” ke instansi-instansi pemerintah dengan ditemani oleh para pemikir dari kalangan ulama dan akademisi yang tidak pragmatis sehingga bisa mengarahkan Zikir bagaimana peran SKPA dalam mewujudkan visi pembangunan Zikir. Zikir harus “memaksa” agar nalar kreatifitas birokrasi senantiasa dihidupkan dengan diperkuat. Masukan-masukan dari masyarakat, akademisi serta hasil-hasil penelitian dan rekomendasi sebuah seminar harus didengar dan diakomodir karena disanalah terlihat aspirasi masyarakat.Pada saat yang bersamaan, publik pun harus aktif sebagai alat kontrol sosial (social control) bagi pemerintah. Jangan segan sama sekali untuk melapor ke Ombudsman setiap pelanggaran oleh birokrasi pemerintah. Secara sederhana, publik harus memelihara frame berfikir, bahwa tugas birokrasi pemerintah adalah melayani masyarakat dan mereka menerima gaji atas kerjanya tersebut. Dan gaji tersebut juga berasal dari masyarakat. Masyarakat juga harus jeli melihat program-program kerja sebuah instansi pemerintah dan kaitannya dengan upaya pembangunan berdasarkan visi misi Zikir.Maka, jika memang Zikir jujur ingin merealisasikan visi pembangunan dan janji-janji politiknya, mau tidak mau mental birokrasi ini harus dibenahi. Seleksi kembali kepala SKPA yang tidak memiliki orientasi menyukseskan program-program pembangunan Zikir. Tempatkan orang-orang yang layak dibidangnya. Dan terakhir, Zikir dan pejabatnya harus menunjukkanpolitical wiil dalam merubah mental birokrasi pemerintah dengan cara mengawalinya dari diri mereka sendiri dan kelompoknya di luar lingkungan pemerintah. Wallahu a’lam bishshawab.Penulis adalah Ketua Senat Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Periode 2010-2011.