Kondisi ini turut dialami Yul Agusmar, pelaku UMKM kerajinan berbahan batu alam asal Desa Lae Bersih, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Aceh. Kendati demikian, ia tetap optimis melanjutkan usahanya meski tertatih-tatih.
"Omzetnya turun sampai dengan 70 persen. Kondisi ini kan dialami hampir semua orang. Tapi, saya tetap memilih bertahan," ujar Yul Agusmar di Subulussalam, Jumat.
Usaha kerajinan batu alam ini sudah digeluti Yul Agusmar sejak 2013. Saat itu, batu alam "booming" hampir di seluruh Indonesia. Harga batu alam seperti giok mencapai jutaan rupiah.
Yul Agusmar konsisten menjalani usaha yang berawal dari mengasah batu cincin yang kala itu sempat populer dan mencapai harga fantastis di eranya.
Kepopuleran batu cincin tidak bertahan lama. Yul Agusmar memutar otak, agar peralatan asah batu miliknya tetap produktif. Ia mulai melakukan pencarian di Youtube mengenai pembuatan kerajinan berbahan dasar batu alam.
Berbekal video yang ditonton, Yul Agusmar mulai mencoba membuat kerajinan batu alam dari batu jenis black jade yang merupakan varian giok, sisa bahan pembuatan batu cincin. Produk yang pertama dibuat berbentuk gelas.
Kemudian, ia mulai berkreasi dengan membuat replika pedang, kapak, gelang, cincin, jam tangan, meja, gelas satu set lengkap dengan teko. Selain itu Ia juga membuat kerajinan sesuai permintaan pembeli.
Meski demikian, Yul juga akan menyampaikan apabila Ia tidak dapat memenuhi permintaan dari konsumen. Hasil kerajinan tangan Yul Agusmar sudah dipasarkan hingga Korea, Singapura, dan Malaysia.
Harga jual hasil kerajinan buatannya cukup bervarisi, berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp50 juta. Terkait pengiriman ke luar negeri ia tidak mengalami kesulitan. Yul menggunakan jasa ekspedisi Pos Indonesia.
"Belajar secara otodidak saja. Produk kerajinan ini saya jual melalui online, peminatnya mayoritas kolektor. Kalau dari Indonesia peminatnya banyak berasal dari Bali," ungkap Yul Agusmar.
Menurut Yul, saat ini dirinya terkendala dengan modal. Selain itu, alat yang dia gunakan masih manual, sehingga memerlukan kesabaran ekstra agar hasilnya minus cacat karena bahan batu mudah sompel.
Kemudian, bahan dasar yang digunakan masih didatangkan dari Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Tak jarang batu yang belinya sama sekali tidak bisa digunakan. Hal itu tentu saja membuat rugi dan harus mengeluarkan modal ekstra.
Diakui Yul Agusmar, sejak awal usahanya dimulai hingga saat ini Ia belum tersentuh bantuan dari pemerintah. Padahal, di masa pandemi ini pemerintah mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk membantu pengusaha dan pelaku UMKM untuk bertahan.
"Itu sudah risiko kami. Namanya juga usaha, tak selalu untung. Kendala saat ini yang paling utama adalah masalah modal," pungkas Yul Agusmar.