Jakarta (ANTARA Aceh) - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan terkait dengan pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah dalam UU Pilkada.
Pemohon dalam perkara ini menilai bahwa ketentuan Pasal 158 UU Pilkada terkait dengan pembatasan permohonan sengketa dengan angka selisih tidak lebih dari dua persen, serta variasi sesuai jumlah penduduk kabupaten kota atau provinsi, dinilai pemohon berpotensi melanggar hak konstitusionalnya.
"Ketika saya mengikuti Pilkada kemudian ada selisih yang lebih dari dua persen lalu saya tidak bisa mengajukan permohonan," ujar pemohon Habiburokhman di depan Majelis Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis.
Habiburokhman adalah politisi dari Partai Gerindra yang berniat mengajukan diri sebagai calon peserta Pilkada tahun 2017 mendatang.
"Padahal di undang-undang yang terdahulu normanya adalah selama berpengaruh, bahkan Mahkamah Konstitusi mempraktikan doktrin terstruktur, sistematis, dan masif, menurut saya secara de facto memang ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan kemunduran dari apa yang sudah dipraktikkan oleh Mahkamah Konstitusi," papar Habiburokhman.
Dalam petitumnya pemohon meminta MK menyatakan Pasal 158 ayat (1) huruf a, b, c, d dan Pasal 158 ayat (2) huruf a, b, c,d UU Pilkada bertentangan dengan Konstitusi.
Kendati demikian, Hakim Konstitusi menyatakan permohonan tersebut sebelumnya sudah pernah diajukan ke MK dengan amar putusan tidak dapat diterima.
"Apabila memang (permohonan) ini diteruskan, maka tentu hal-hal yang terkait dengan hal-hal teknis, ya perlu diuraikan seperti mengenai batu ujinya ini, diuraikan dalam alasan permohonan pengujian, dan diperlihatkan pertentangannya dengan pasal yang jadi objek pengujian ya," ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Pemohon dalam perkara ini menilai bahwa ketentuan Pasal 158 UU Pilkada terkait dengan pembatasan permohonan sengketa dengan angka selisih tidak lebih dari dua persen, serta variasi sesuai jumlah penduduk kabupaten kota atau provinsi, dinilai pemohon berpotensi melanggar hak konstitusionalnya.
"Ketika saya mengikuti Pilkada kemudian ada selisih yang lebih dari dua persen lalu saya tidak bisa mengajukan permohonan," ujar pemohon Habiburokhman di depan Majelis Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis.
Habiburokhman adalah politisi dari Partai Gerindra yang berniat mengajukan diri sebagai calon peserta Pilkada tahun 2017 mendatang.
"Padahal di undang-undang yang terdahulu normanya adalah selama berpengaruh, bahkan Mahkamah Konstitusi mempraktikan doktrin terstruktur, sistematis, dan masif, menurut saya secara de facto memang ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan kemunduran dari apa yang sudah dipraktikkan oleh Mahkamah Konstitusi," papar Habiburokhman.
Dalam petitumnya pemohon meminta MK menyatakan Pasal 158 ayat (1) huruf a, b, c, d dan Pasal 158 ayat (2) huruf a, b, c,d UU Pilkada bertentangan dengan Konstitusi.
Kendati demikian, Hakim Konstitusi menyatakan permohonan tersebut sebelumnya sudah pernah diajukan ke MK dengan amar putusan tidak dapat diterima.
"Apabila memang (permohonan) ini diteruskan, maka tentu hal-hal yang terkait dengan hal-hal teknis, ya perlu diuraikan seperti mengenai batu ujinya ini, diuraikan dalam alasan permohonan pengujian, dan diperlihatkan pertentangannya dengan pasal yang jadi objek pengujian ya," ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.