Meulaboh (ANTARA Aceh) - Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh menerbitkan qanun (peraturan daerah) tentang pendampingan hukum masyarakat miskin sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap masyarakat yang tersandung masalah hukum.
Kepala Bagian Hukum (Kabag Hukum) Setdakab Aceh Barat Cut Nyanti Polem di Meulaboh, Rabu mengatakan qanun tersebut sudah disahkan pada Maret 2015 dan efektif pelaksanaannya pada tahun anggaran 2016.
"Qanun pendampingan hukum masyarakat miskin ini sebenarnya adalah perintah Undang-Undang yang kita jabarkan dalam bentuk kearifan lokal. Ini secara teknis bersentuhan langsung dengan persoalan dihadapi masyarakat yang tersandung masalah hukum,"katanya.
Cut Yanti Polem mengatakan, lahirnya qanun tersebut tidak ada kaitannya dengan persoalan masyarakat nelayan Aceh Barat yang saat ini masih mendekam ditahanan penjara setelah putusan vonis empat bulan penjara di PN Padang sebab berlayar tidak memiliki izin lengkap.
Dengan adanya qanun tersebut kata dia, masyarakat miskin tidak perlu lagi khawatir terhadap segala bentuk pembiayaan apabila ada keluarga yang tersangdung masalah hukum karena pemerintah telah mempersiapkan semua itu.
Dia menjelaskan sistem kerja berlakunya qanun tersebut harus diperkuat dengan surat keterangan tertulis dari aparatur desa (geuchik) tercatat sebagai warga miskin, kemudian pihak pemerintah akan siap memfasilitasi sampi persoalan hukum itu selesai.
"Cara kerjanya pada saat butuh bantuan hukum mereka akan mengambil lembaga bantuan hukum mana atau pengacara mana, nanti pemda membayar semua itu. Kami targetkan pada 2016 sudah berjalan efektif,"imbuhnya.
Lebih lanjut dikatakan, berkaitan dengan adanya regulasi peraturan bupati (perbub) Aceh Barat 2010 dan Perbub 2014 yang tidak mewajibakan nelayan/boad memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan hanya megeluarkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) masih dalam kajian pemkab setempat.
Padahal secara ketentuan harusnya SIPI baru dapat dikeluarkan pemerintah daerah apabila nelayan sudah memiliki SIUP, menurut Cut Yanti Polem mekanisme pencabutan dan perubahan qanun atau perbub itu harus dikaji terlebih dahulu sebelum dieksekusi.
Terlebih lagi kata dia, untuk urusan qanun memiliki tengat waktu hingga tiga tahun berjalan, apabila dalam transisi waktu demikian terjadi perubahan maka dapat direvisi ataupun dihilangkan dengan merujuk pada aturan yang lebih tinggi.
"Tidak mungkin mencabutnya begitu saja, tapi hal ini jadi pelajaran bagi kita semua, qanun itu bisa dirubah minimal tiga tahun setelah dikeluarkan, kalau perbup lebih enak lagi dirubah, maka itu saran kami dinas teknis harus benar-benar mempelajari setiap aturan yang akan dikeluarkan,"katanya menambahkan.
Kepala Bagian Hukum (Kabag Hukum) Setdakab Aceh Barat Cut Nyanti Polem di Meulaboh, Rabu mengatakan qanun tersebut sudah disahkan pada Maret 2015 dan efektif pelaksanaannya pada tahun anggaran 2016.
"Qanun pendampingan hukum masyarakat miskin ini sebenarnya adalah perintah Undang-Undang yang kita jabarkan dalam bentuk kearifan lokal. Ini secara teknis bersentuhan langsung dengan persoalan dihadapi masyarakat yang tersandung masalah hukum,"katanya.
Cut Yanti Polem mengatakan, lahirnya qanun tersebut tidak ada kaitannya dengan persoalan masyarakat nelayan Aceh Barat yang saat ini masih mendekam ditahanan penjara setelah putusan vonis empat bulan penjara di PN Padang sebab berlayar tidak memiliki izin lengkap.
Dengan adanya qanun tersebut kata dia, masyarakat miskin tidak perlu lagi khawatir terhadap segala bentuk pembiayaan apabila ada keluarga yang tersangdung masalah hukum karena pemerintah telah mempersiapkan semua itu.
Dia menjelaskan sistem kerja berlakunya qanun tersebut harus diperkuat dengan surat keterangan tertulis dari aparatur desa (geuchik) tercatat sebagai warga miskin, kemudian pihak pemerintah akan siap memfasilitasi sampi persoalan hukum itu selesai.
"Cara kerjanya pada saat butuh bantuan hukum mereka akan mengambil lembaga bantuan hukum mana atau pengacara mana, nanti pemda membayar semua itu. Kami targetkan pada 2016 sudah berjalan efektif,"imbuhnya.
Lebih lanjut dikatakan, berkaitan dengan adanya regulasi peraturan bupati (perbub) Aceh Barat 2010 dan Perbub 2014 yang tidak mewajibakan nelayan/boad memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan hanya megeluarkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) masih dalam kajian pemkab setempat.
Padahal secara ketentuan harusnya SIPI baru dapat dikeluarkan pemerintah daerah apabila nelayan sudah memiliki SIUP, menurut Cut Yanti Polem mekanisme pencabutan dan perubahan qanun atau perbub itu harus dikaji terlebih dahulu sebelum dieksekusi.
Terlebih lagi kata dia, untuk urusan qanun memiliki tengat waktu hingga tiga tahun berjalan, apabila dalam transisi waktu demikian terjadi perubahan maka dapat direvisi ataupun dihilangkan dengan merujuk pada aturan yang lebih tinggi.
"Tidak mungkin mencabutnya begitu saja, tapi hal ini jadi pelajaran bagi kita semua, qanun itu bisa dirubah minimal tiga tahun setelah dikeluarkan, kalau perbup lebih enak lagi dirubah, maka itu saran kami dinas teknis harus benar-benar mempelajari setiap aturan yang akan dikeluarkan,"katanya menambahkan.