Aceh Timur (ANTARA) - Idi Cut berdarah dikenal dengan sebutan Tragedi Arakundo. Peristiwa tersebut terjadi 23 tahun lalu di Simpang Kuala Idi Cut, Kecamatan Darul Aman, Kabupaten Aceh Timur.
Peristiwa berdarah itu dipicu karena masyarakat masyarakat Desa Matang Ulim, Kecamatan Darul Aman, Kabupaten Aceh Timur, sehari sebelumnya menyiapkan pentas dakwah.
Dakwah yang bakal diselenggarakan warga Idi Cut disebut-sebut berdokrin ideologi Aceh Merdeka. Topik ceramahnya seputar sejarah perjuangan rakyat Aceh.
Berbagai segala persiapan mulai dari panggung hingga rangkaian agenda acara sudah tersiapkan dengan matang. Namun isu dakwah terendus aparat. Pihak aparat sempat melarang masyarakat agar tidak menggelar dakwah. Bahkan aparat sempat mengobrak-abrik tempat akan digelar dakwah itu.
Meskipun sudah mendapat teguran keras, masyarakat setempat tetap melanjutkan acara dakwah. Ribuan masyarakat dari berbagai pelosok Aceh Timur berbondong-bondong ke acara itu.
Setelah dakwah selesai sekira pukul 00.50 WIB, masyarakat pulang dengan berbagai jenis kendaraan menelusuri jalan Desa setempat untuk keluar menuju jalan nasional Banda Aceh-Medan.
Di tengah jalan, saat hendak masyarakat pulang tiba-tiba di Simpang Kuala Idi Cut mereka ditindas, dibunuh, disiksa yang sangat keji oleh aparat pada saat itu.
"Korban berjatuhan dengan bersimbah. Kami lari kocar-kacir setelah melihat hujanan peluru. Ada kawan saya yang jatuh tertembak ada juga diangkat dibawa dinaikkan ke truk aparat,” kata Podah, warga Idi Cut yang menyaksikan kejadian tersebut.
Bahkan saat terjadinya kejadian itu hingga menyebabkan kemacetan dahsyat di jalan raya semua kendaraan terhenti dari barat maupun timur.
“Keesokan paginya kami mendengar kabar ada mayat mengapung di Sungai Arakundo. Kami yakin bahwa mayat itu adalah masyarakat yang tadi malam pulang dari acara dakwah,” kata Podah.
Tidak hanya Podah peristiwa itu tidak terlupakan di benak masyarakat Aceh khususnya Aceh Timur hingga detik ini, kasus pelanggaran terbesar itu masih bungkam seiring ditelan masa.
"Semoga perdamaian Aceh terus bersemi di tanah rencong dan peristiwa yang sama tak terulang kembali," kata podah lagi.
Lanjutnya, masyarakat yang merasa keluarganya hilang ketika itu sangat terpukul, mereka terus berusaha mencari keberadaannya. Sungai Arakundo dipadati masyarakat ketika itu, dengan alat tradisional mayat-mayat diangkat dari sungai.
Tanpa bantuan dari pihak mana pun, masyarakat membantu dengan alat seadanya mencari mayat. Sebagian mereka ditemukan dalam karung. Mirisnya lagi jasad mereka diikat dengan kawat dan ditambah batu.
Meskipun telah berlalu, namun tragedi berdarah pada 1999 itu belum terlupakan. Tugu perdamaian dibangun pada 2012 itu menjadi tanda sejarah tragedi yang memilukan tersebut.
Sebagian nama-nama korban yang ditemukan di Sungai Arakundo tertulis di batu tugu itu. Bangunan itu terletak di Desa Matang Pineung, Kecamatan Darul Aman, Kabupaten Aceh Timur, tertulis Hasbi Bin Saleh usia ketika itu 35 tahun.
Kemudian Irwansyah bin Usman (20), Karimuddin bin Ibrahim (19), Jailani bin Ahmad (18), Saiful Bahri (18), Ridwan bin Mak Syah( 20), dan Jamaluddin bin Harmi (27).