Banda Aceh (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Perwakilan Aceh mencatat jumlah pengungsi Rohingya yang masih berada di Aceh tersisa 155 orang, tersebar di BLK Lhokseumawe 41 lagi dan di Kabupaten Bireuen 114 orang.
"Kita telah meninjau lokasi penampungan sementara dan bertemu dengan berbagai pihak diantaranya Pemerintah Kota Lhokseumawe, Pemerintah Bireuen, perwakilan UNHCR, IOM serta para relawan," kata Kepala Komnas HAM Aceh Sepriady Utama di Banda Aceh, Senin.
Sepriady menyebutkan, pengungsi Rohingya yang tersisa di BLK Kota Lhokseumawe saat ini berjumlah jumlah 41 orang, diantaranya 11 perempuan dewasa, 11 laki-laki dewasa, anak laki-laki tiga orang dan anak perempuan 16 orang.
Baca juga: Penyelamatan Rohingya tampil di Pentas Seni Tuah Bak Jaroe Panglima
"Sedangkan total pengungsi yang kabur dari tempat penampungan tersebut sebanyak 67 orang," ujarnya.
Kemudian, kata Sepriady, terdapat sebanyak 114 orang pengungsi Rohingya yang terdampar pada 6 Maret 2022 lalu di Kabupaten Bireuen, mereka kini ditempatkan di Aula Kantor Camat Jangka, Bireuen.
114 pengungsi Rohingya ini terdiri dari 44 perempuan dan 70 laki-laki dengan klasifikasi 40 orang anak-anak dan 74 dewasa, dan 33 orang diantara anak-anak tersebut tanpa pendampingan.
Baca juga: UNHCR tunggu keputusan akhir soal pemindahan warga Rohingya dari Bireuen
"Lokasi dan tempat yang bersifat darurat sementara ini dinilai tidak layak untuk penanganan tahap berikutnya oleh UNHCR dan IOM," kata Sepriady.
Sepriady menyampaikan, saat ini terjadi persoalan ketidakpastian mengenai penempatan para pengungsi Rohingya ke lokasi penampungan utama, mengingat mereka yang ditempatkan di BLK Kota Lhokseumawe dan Bireuen hanya bersifat sesaat dan dalam kondisi darurat saja.
Bahkan, kata Sepriady, saat ini terjadi kecenderungan resistensi dalam penerimaan penempatan sementara di daerah.
Baca juga: 114 pengungsi Rohingya di Bireuen segera dipindahkan ke Pekanbaru
"Untuk itu perlu adanya kejelasan mekanisme penerimaan, penempatan, serta penanganan yang terkoordinasi secara tertib dan baik oleh pemerintah," ujarnya.
Sepriady menuturkan, warga Rohingya yang terus masuk ke wilayah Indonesia khususnya perairan Aceh ini diduga terjadi karena keterlibatan penyelundup jaringan internasional (smuggler), dan sudah mengetahui kondisi perairan Indonesia sehingga mereka mudah beroperasi.
Para pihak, lanjut Sepriady, kemudian menjadikan para pengungsi Rohingya sebagai korban kejahatan seperti penyelundupan manusia atau perdagangan orang (human trafficking) dan tindak pidana lainnya.
"Kejahatan serupa meningkat saat para pengungsi dalam penanganan di tempat penampungan sementara. Karena itu, perlu peningkatan kewaspadaan, pencegahan serta penegakan hukum," demikian Sepriady.