Banda Aceh (ANTARA) - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Hendra Budian menyatakan rencana peralihan kontrak kerjasama kegiatan dulu SKK Migas ke Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) masih stagnan atau tidak berjalan lancar.
"Namun hingga saat ini kami belum mendengar adanya kemajuan dari proses tersebut untuk lapangan Pertamina EP yang ada di Tamiang," kata Hendra Budian di Banda Aceh, Selasa.
Hendra menyampaikan, sesuai UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan PP Nomor 23 tahun 2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya alam migas di Aceh telah memerintahkan bahwa kontrak kerjasamanya harus beralih ke BPMA.
Seharusnya, kata Hendra, peralihan tersebut tidaklah terlalu rumit jika para pihak mau menyelesaikan dengan cepat. Apalagi semua tata caranya sudah diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2015 tersebut.
"Informasi yang kami dapatkan bahwa progres alih kelola berjalan sangat lambat sejak BPMA mulai dibentuk. Kami tidak paham ada kendala dimana, karena DPRA tidak pernah mendapatkan update secara langsung," ujarnya.
Terkait hal itu, Hendra menyampaikan bahwa pihaknya segera memanggil BPMA dan SKK Migas, karena kedua lembaga ini harus bekerja secara profesional. Meski selama ini BPMA juga terus melakukan upaya agar kontrak kerjasama di Blok Rantau tersebut segera disesuaikan.
Namun, kata Hendra, jika kendalanya ada di Pertamina EP, dirinya mengingatkan Pertamina agar jangan main-main dengan kewenangan Aceh yang sudah diberikan oleh Pemerintah Pusat.
Dirinya juga menyarankan jika Pertamina EP tidak mau bekerjasama dengan baik, maka lebih baik pengelolaan lapangannya diserahkan kepada PEMA selaku perusahaan milik Pemerintah Aceh (BUMD).
Hendra mengatakan, PT PEMA bisa bekerja jauh lebih efisien dan menghasilkan dua keuntungan bagi Aceh, pertama berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Dana Bagi Hasil (DBH), di mana Aceh mendapatkan bagi hasil 70 persen dari bagian negara.
"Keuntungan kedua, Aceh mendapatkan bagi dividen dari keuntungan perusahaan daerah yang langsung masuk sebagai Pendapatan Asli Aceh (PAD)," kata Politikus Golkar itu.
Hendra menambahkan, dirinya baru dapat laporan bahwa selama ini Aceh tidak mendapatkan DBH/TDBH dari Pertamina EP yang beroperasi di Aceh Tamiang dan hanya pada 2021 ini Aceh menerima sekitar Rp54 miliar.
"Seharusnya DBH/TDBH tersebut sudah mengalir sejak UUPA ditetapkan pada 2006," ujarnya.
Jika seperti ini, tambah Hendra, pihaknya mendorong PT PEMA untuk segera mengambil alih lapangan di rantau dari pada tetap dikelola Pertamina tetapi tidak memberikan manfaat buat rakyat Aceh.
"Kami akan dorong prosesnya ke arah sana, demi kepentingan Aceh yang lebih besar yang sudah diamanatkan dalam UUPA," demikian Hendra Budian.