Bogota (ANTARA) - Pengunjuk rasa pada Sabtu (21/1) terus menuntut pengunduran diri Presiden Peru Dina Boluarte dalam aksi protes yang telah berlangsung enam minggu dengan kekerasan hingga menewaskan 60 orang.
Dalam sebuah pidato televisi pada Kamis malam (19/1), Boluarte menuduh para pengunjuk rasa melakukan "vandalisme" setelah ratusan warga turun ke jalan-jalan di ibukota negara, Lima, dalam langkah yang disebut sebagai "Pengambilalihan Lima".
Presiden Boluarte mengatakan bahwa pengunjuk rasa "tidak memiliki agenda sosial" tetapi berusaha "melanggar peraturan, menimbulkan kekacauan dan merebut kekuasaan".
Angka kematian semakin meningkat sejak 11 Desember 2022 dengan tewasnya seorang warga di Puno.
Menurut laporan, banyak orang yang terluka di kedua pihak saat petugas keamanan menggunakan gas air mata untuk merespons pengunjuk rasa yang melempar batu ke arah mereka.
Polisi menggerebek Universitas Nasional San Marcos di Lima dengan sebuah tank dan menahan 200 mahasiswa.
Dilaporkan juga bahwa terjadi bentrok antara polisi dan mahasiswa di taman universitas, dan mahasiswa diseret keluar dengan bus polisi setelah lebih dari satu jam.
Pemerintah mengumumkan keadaan darurat untuk beberapa daerah, yang memberi wewenang kepada militer untuk turun tangan dalam upaya menjaga ketertiban.
Ledakan protes selama sebulan di Peru dipicu oleh penggeseran mantan presiden Pedro Castillo dari jabatannya dan sejumlah penahanan yang dilakukan dengan tuduhan pemberontakan saat Castillo berusaha membubarkan Kongres dan memerintah dengan keputusan untuk mencegah pemakzulan dirinya atas dugaan korupsi.
Kantor Kejaksaan Peru akan membuka penyelidikan terhadap Boluarte atas kejadian warga sipil yang tewas sejak protes dimulai pada 7 Desember 2022.