Banda Aceh (ANTARA Aceh) - Gubernur Aceh Zaini Abdullah melantik dan membacakan sumpah tujuh komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Pelantikan dan pembacaan sumpah tujuh komisioner KKR tersebut berlangsung dalam rapat paripurna istimewa DPR Aceh di ruang sidang utama DPR Aceh di Banda Aceh, Senin.
Adapun tujuh komisioner KKR yakni Afridal Darmi (ketua), Muhammad MTA (wakil ketua), serta Fajran Zain, Masthur Yahya, Fuadi, Evi Narti Zain, dan Ainal Mardiah, masing-masing sebagai anggota.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan, pembentukan KKR merupakan tindak lanjut dari perjanjian damai atau yang dikenal dengan MoU Helsinki yang ditandatangani 15 Agustus 2005.
"KKR juga dibentuk berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Serta aturan turunannya Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR," kata Gubernur Aceh.
Zaini Abdullah mengatakan, KKR bertugas dan berwenang mencari kebenaran dan rekonsiliasi korban konflik. Termasuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia atau HAM di Aceh.
Menurut Gubernur, dalam menyelesaikan pelanggaran HAM, KKR dapat mempertimbangkan prinsip adat yang hidup dalam masyarakat serta tata cara pelaksanaan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Gubernur menyebutkan, tugas dan fungsi KKR belum dipahami oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, agar terwujud persepsi yang sama terhadap KKR, maka perlu sosialisasikan kepada masyarakat.
"Kami berharap para komisioner KKR yang dilantik bisa memasyarakatkan tugas dan fungsi komisi ini. Dan pembentukan KKR ini juga harus disikapi secara arif dan bijak oleh semua penyelenggara negara," kata Zaini Abdullah.
Sebelumnya, Ketua KKR Aceh Afridal Darmi mengatakan, komisi yang dipimpinnya segera menyusun program kerja guna menentukan arah dan langkah lembaga di masa mendatang.
"Tugas pertama yang akan kami lakukan yakni menyosialisasikan keberadaan KKR, sehingga masyarakat mengetahui tugas dan fungsi lembaga. Berikutnya, baru kami lanjutkan dengan tugas utama KKR," kata dia.
KKR, sebut Afridal Darmi, diberi mandat oleh qanun atau peraturan daerah untuk mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi terhadap korban konflik. Dan kasus yang akan diungkap sesuai amanat qanun rentang waktu Desember 1976 hingga Agustus 2005.
"Kami juga akan memetakan kasus-kasus besar semasa konflik Aceh untuk diungkapkan kebenarannya. Pengungkapan kebenaran ini untuk memberi rasa keadilan bagi masyarakat korban konflik," kata Afridal Darmi.
