Jika Anda berencana atau sedang berlibur di Kota Sabang, Provinsi Aceh, ada baiknya untuk menyempatkan diri ke Gua Sarang yang terletak di kaki tebing dan perbukitan hutan lindung Pulau Weh yang menjorok ke laut biru.
Walau tak seperti Gua Dau Go di Teluk Ha Long, Vietnam, yang dapat ditelusuri para wisatawan, tujuh gua yang menjadi tempat bersarangnya burung walet dan kalong di Pulau Weh itu dapat menjadi pelengkap destinasi wisata Anda.
Betapa tidak, Anda disuguhi pesona guratan dinding-dinding gua batu yang berdiri kokoh di kaki tebing dan perbukitan hutan lebat serta jernihnya air laut pulau paling ujung barat Nusantara yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia itu.
Bagi wisatawan domestik dan mancanegara yang ingin ke Gua Sarang ini, mereka disarankan untuk menyewa sepeda motor dari warga setempat setibanya di Pelabuhan Balohan karena kota ini tidak memiliki sistem transportasi umum, seperti angkutan kota dan taksi.
Karenanya, baik warga setempat maupun turis domestik dan mancanegara umumnya menggantungkan mobilitas mereka selama berada di Sabang pada kendaraan pribadi, mobil dan sepeda motor sewaan, bus pariwisata, atau jasa pengemudi becak bermotor.
Dari kelima jenis moda transportasi tersebut, penyewaan sepeda motor merupakan pilihan terbaik jika Anda melakukan kunjungan ke kota yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, itu seorang diri atau maksimal berdua.
Dengan uang sewa berkisar Rp80.000 sampai Rp100.000 per 24 jam pemakaian, Anda sudah dapat menelusuri berbagai destinasi wisata yang dimiliki kota dengan luas kawasan mencapai 153 kilometer persegi ini, termasuk Gua Sarang, tanpa kesulitan yang berarti.
Untuk mencapai pos pembelian karcis masuk pengunjung Gua Sarang, dibutuhkan waktu sekitar satu jam dari Pelabuhan Balohan dengan sepeda motor ke arah Gampong (Kampung) Iboih, Kecamatan Sukakarya.
Setibanya di sebuah pertigaan sekitar tiga kilometer sebelum simpang dua gapura Desa Wisata Iboih, ada papan petunjuk arah ke Gua Sarang di sisi kanan ujung jalan yang memandu wisatawan untuk berbelok ke kiri.
Di sepanjang perjalanan belasan kilometer dari Kota Sabang atau Pelabuhan Penyeberangan Balohan menuju Gua Sarang itu, Anda disuguhi pemandangan alam pegunungan, hamparan laut biru, aktivitas ekonomi warga, dan perkampungan penduduk.
Udara segar pegunungan menemani perjalanan Anda. Namun kewaspadaan tinggi diperlukan selama berkendara melintasi jalan-jalan beraspal yang 99 persen kondisinya mulus karena hanya sedikit yang berlubang dan retak.
Karena, kendati dilengkapi marka jalan, beton pengaman, serta papan petunjuk arah dan papan peringatan yang memadai, kondisi jalan ke arah Gua Sarang maupun Iboih dan tugu Kilometer Nol Indonesia penuh dengan medan mendaki dan menurun.
Tikungan-tikungan tajam, jurang-jurang yang dalam, dan ancaman longsor tebing di salah satu sisi jalan menjadi tantangan para pengendara sehingga pengaturan kecepatan dan kondisi baik rem kendaraan diperlukan.
Pada 6 Maret pukul 15.30 WIB, didorong rasa ingin tahu tentang keeksotisan Gua Sarang berdasarkan informasi beberapa warga setempat, Antara berangkat menuju Gua Sarang dari Desa Wisata Iboih yang berjarak sekitar lima kilometer dengan sepeda motor.
Setibanya di pertigaan yang dilengkapi papan kecil bertuliskan arah Gua Sarang, sepeda motor berbelok ke kanan menelusuri jalan beraspal cukup mulus dengan melintasi simpang jalan masuk area The Pade Resort dan depan kompleks TNI AD Kompi Balek Gunung.
Di sepanjang perjalanan menuju pos retribusi parkir kendaraan bermotor pengunjung Gua Sarang, suasana jalan lengang karena tak banyak orang dan kendaraan yang lalu lalang namun kondisi itu tak membuat kecut hati karena keamanan Sabang kondusif.
Hanya saja, kehati-hatian tetap diperlukan karena seperti pada Senin sore itu, seekor biawak liar berukuran cukup besar melintas di jalan beraspal yang di sisi kiri dan kanannya tumbuh pepohonan hutan lindung.
Setibanya di pos pembelian tiket masuk seharga Rp5.000, setiap pengunjung harus menuruni puluhan anak tangga untuk mencapai titik awal jalur trekking maupun keberangkatan perahu ke Gua Sarang.
Di sisi kanan titik awal jalur trekking melalui jalan setapak berbatu-batu itu, terdapat sebuah rumah panggung bercat merah dan hijau bertuliskan "boat ke Gua Sarang" dan "menyediakan alat snorkeling" milik Ketua Pemuda Iboih Teuku Ubit.
Dari situ, para wisatawan yang berkunjung dapat memilih jalur trekking dengan berjalan kaki untuk mencapai beberapa sisi gua atau menyewa perahu bermotor milik Teuku Ubit untuk menyaksikan pesona tujuh mulut gua dari arah laut.
Tak hendak berspekulasi dengan memilih jalur trekking, penulis memilih jalur laut dengan menyewa perahu bermotor fiberglass milik ayah tujuh anak itu seharga Rp200.000 untuk melihat ke tujuh mulut gua sarang walet dan kalong tersebut.
Uang sewa tersebut bisa dibagi rata di antara para wisatawan karena perahu bermotor itu mampu memuat maksimal 11 orang penumpang sehingga per orangnya hanya membayar kurang dari Rp20.000.
Pada Senin sore (6/3) itu, Teuku Ubit, nama panggilan kecil pria bernama asli Teuku Syahrizal ini, meminta putranya, Teuku Zulfikar, untuk mendampingi penulis.
Zulfikar harus berenang sekitar 50 meter untuk menarik perahunya yang berada di laut ke tepi pantai berbatu untuk memudahkan penumpangnya naik akibat tidak ada dermaga khusus untuk memudahkan perahu merapat.
Sudah menjadi pemandangan umum di kawasan wisata Iboih dan sekitarnya, termasuk di titik awal kunjungan Gua Sarang ini, perahu-perahu bermotor dibiarkan terombang-ambing di laut dengan cara diikat ke tali tambang akibat kondisi pantai yang berbatu.
Zulfikar yang bertelanjang dada berhasil merapatkan perahu bermotor 25 PK milik ayahnya itu mendekati batu yang bisa dijadikan pijakan untuk naik ke perahu fiberglass berwarna putih tersebut.
Di tengah deru mesin yang menggerakkan perahu membelah permukaan air laut yang tenang dan terpaan angin yang menampar kulit wajah yang tersengat sinar matahari, kunjungan ke tujuh gua itu pun dimulai.
Setelah berjalan sekitar lima menit dari titik awal keberangkatan, perahu mendekat ke tiga deret gua. Di atas tiga mulut gua yang langsung menyentuh laut itu, tumbuh pepohonan dan tanaman liar hutan lindung.
Di dekatnya, ada dua bukit batu berwarna kehitaman dan tebing-tebing batu yang ditumbuhi tanaman-tanaman liar kokoh berdiri. Hempasan ombak laut berwarna hijau toska tak menggoyahkan bukit dan tebing batu tersebut.
Di balik perbukitan berbatu cadas tersebut tampak mulut gua sarang walet dan kalong yang menyatu dengan air laut. Satu demi satu gua sarang walet dan kalong itu dikunjungi.
Satu di antaranya dapat dimasuki perahu sehingga guratan-guratan batu di dinding gua yang sebagian ditumbuhi lumut itu tampak jelas dan tercium bau khas burung walet. Di dalamnya agak lembab.
Namun, Zulfikar, yang didampingi seorang karibnya, tak mengizinkan penumpangnya turun dari perahu ke dalam ruang mulut gua saat air laut pasang untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan mengingat kuatnya hempasan deburan ombak.
Beberapa kumpulan batu gunung berdiri kokoh di tengah perairan tersebut. Dari kejauhan tampak siluet biru perbukitan Pulau Weh dari atas boat.
Remaja berkulit sawo matang itu pun beberapa kali bermanuver dengan kemudi perahu motornya guna menghindari benturan dengan batu-batu gunung berukuran besar yang tersusun menjulang dan menyembul ke permukaan perairan.
Sebagai bagian dari pelayanan wisata Gua Sarang dengan perahu Teuku Ubit itu, karib Zulfikar membantu tamunya mengabadikan suasana dan obyek eksotis tersebut dengan kamera telepon selular.
Setelah berkeliling kurang dari setengah jam mengitari tujuh mulut gua dan bebatuan gunung yang menyembul dari dasar laut serta mengabadikan momen di spot-spot foto yang menarik dan indah, perahu pun kembali berlabuh ke pantai berbatu.
Kembalinya perahu ke pantai berbatu di depan rumah panggung yang menjadi pusat usaha keluarga Teuku Ubit untuk menurunkan wisatawan itu menandakan berakhirnya kunjungan ke Gua Sarang nan eksotis tersebut.