Banda Aceh (ANTARA) - Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Subulussalam (AMPES) melakukan aksi damai ke kantor Gubernur Aceh menuntut pencabutan izin PT Sawit Panen Terus (SPT) karena diduga telah merusak alam karena mengakibatkan deforestasi dan mencemari Sungai Singgersing, Kota Subulussalam, Aceh.
"Kami meminta Pemerintah Aceh segera mencabut izin PT SPT karena kehadiran mereka sudah merusak lingkungan kami seperti hutan lindung, sungai kami tercemar, dan air terjun tempat wisata," kata Koordinator Aksi, M Ikhwan Sambo, di Banda Aceh, Selasa.
Ikhwan mengatakan, akibat aktivitas perusahaan sawit tersebut, masyarakat sulit mencari ikan di Lae Singgersing karena banyak pepohonan yang ditebang hanyut ke sungai.
Baca juga: Apel Green: Kerusakan lahan gambut di Rawa Tripa Aceh capai 608,81 Ha
Tidak hanya itu, air terjun Silelangit yang menjadi satu-satunya ikon wisata serta ladang perekonomian masyarakat juga ikut tercemar. Warnanya telah berubah kecoklatan sejak aktivitas perambahan di sana.
"Airnya sudah keruh. Satwa liar pun banyak yang keluar ke pemukiman masyarakat, seperti harimau," ujarnya.
Kata Ikhwan, pemuda Subulussalam sebelumnya telah meminta Pemerintah Kota Subulussalam dan Badan Pertanahan Negara (BPN) mengkaji ulang izin PT SPT. Tetapi, mereka justru mendapat intimidasi.
"Mereka (red-Pemko Subulussalam) tidak mengizinkan kami untuk demo, makanya kami berhadir di kantor gubernur supaya dapat titik temu dari permasalahan ini," katanya.
Dirinya menuturkan, aktivitas PT SPT mendapat penolakan dari masyarakat setempat setelah mulai memasuki kawasan hutan lindung. Namun, Pemerintah Kota Subulussalam tidak mengakui dan menyatakan perusahaan tersebut tidak merambah hutan.
Karena itu, dalam aksi ini, belasan pemuda yang datang dari Subulussalam ini mengajukan poin tuntutan kepada Pemerintah Aceh. Pertama, meminta pertanggungjawaban PT SPT yang sudah menggarap hutan lindung.
Baca juga: BKSDA Aceh komit hentikan deforestasi di SM Rawa Singkil
Kemudian, meminta aparat penegak hukum memproses secara hukum pihak PT SPT, meminta Badan Pertanahan Negara (BPN) Aceh mencabut PT SPT, pertanggungjawaban PT SPT atas tercemarnya tempat wisata dan sungai Subulussalam.
Selanjutnya, meminta Pj Gubernur untuk menekan pemerintah Kota Subulussalam agar menegaskan CSR/bantuan dari PT diberikan kepada masyarakat.
Terhadap tuntutan mahasiswa, Kepala Bidang Penanganan Masalah, Pembinaan dan Penyuluhan Pertanahan Dinas Pertanahan Aceh, M Nizwar menyampaikan pihaknya baru mengetahui keberadaan PT SPT itu, termasuk soal sudah atau belum mengantongi perizinan.
"Kalau belum ada HGU tidak bisa disebut perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, kita belum tahu ini. Apakah dia mengurusi izin atau lagi mempersiapkan belum bisa memberi komentar," katanya.
Meskipun begitu, ia menyambut baik informasi yang disampaikan belasan pemuda Subulussalam, dan menegaskan bakal dibicarakan serta menindaklanjutinya.
"Apalagi tadi ada juga dugaan masalah PT MSBB kesalahan di CSR-nya. Kita akan melihat dan mengawasi kembali selaku institusi yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang itu," ujar M Nizwar.
Sebelumnya, Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA) melalui pemantauan citra satelit menemukan adanya aktivitas pembukaan lahan pada kawasan hutan lindung di sekitar Desa Cipar-pari Timur, Namo Buaya, Singgersing Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh.
Pembukaan lahan tersebut diduga dilakukan oleh PT SPT tanpa izin. Pemantauan HAkA menunjukkan bahwa kerusakan hutan di lokasi PT SPT dimulai pada bulan Juli 2022, ditandai dengan pembukaan jalan berdasarkan analisis citra satelit pada bulan tersebut.
Total kerusakan hutan yang terjadi dari Juli 2022 sampai April 2024 mencapai 1.655 hektar. Dengan 1.641 ha berada di Area Penggunaan Lain (APL) dan 14 ha kerusakan hutan sudah masuk ke dalam kawasan Hutan Lindung (HL).
Selain itu, kerusakan hutan juga terindikasi di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Hasil pemantauan kerusakan hutan di KEL mencapai luas 682 hektare.
Di sisi lain, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh menyatakan bahwa PT SPT yang sudah melakukan penghijauan kembali di lahan 14 hektare.
"14 hektare tersebut keterlanjuran mereka (red-PT SPT) dan mereka sudah menanam kembali, dan siap menghijaukan kembali seperti hutan," kata Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) VI DLHK Aceh, Irwandi saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, Irwandi juga menegaskan, berdasarkan hasil temuan di lapangan, kerusakan hutan yang terjadi di sekitar Desa Cipar-pari Timur, Namo Buaya, Singgersing Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam itu tidak dilakukan PT SPT, karena ternyata ada banyak hutan yang berstatus kepemilikan pribadi.
"Bukan PT SPT yang merusak hutan itu, kita sudah cek ke lapangan, PT itu belum ada dokumentasi hak guna usaha (HGU), kemudian di lokasi kita temukan surat hak milik (SHM) semua," ujarnya.
Dirinya menyampaikan, atas temuan banyaknya kawasan hutan yang ternyata berstatus milik pribadi, maka pihaknya tidak dapat menindak atau meminta pertanggungjawaban PT SPT.
"Kita lihat sudah ada hak milik (SHM) semua, milik pribadi yang mereka buka lahan, kalau mau kita tindak ya tindak pribadi, bukan PT SPT-nya. Kalau kita temukan siapa yang masuk ke dalam, ya kita minta pertanggungjawaban sesuai dengan UU Cipta Kerja," kata Irwandi.
Baca juga: Diduga rambah hutan lindung di Subulussalam, DLHK: Perusahaan sudah hijaukan kembali
Demo ke kantor Gubernur Aceh, pemuda Subulussalam desak pencabutan izin PT SPT
Selasa, 2 Juli 2024 17:46 WIB