Banda Aceh (ANTARA) - Perbudakan di masa lalu menjadi hal yang lumrah di Nusantara, termasuk juga di Aceh. Kapan awalnya perbudakan terjadi di Aceh, belum ada catatan yang sahih tentang hal tersebut.
Namun, perbudakan sudah ada pada periode waktu Kesultanan Aceh Darussalam. Snouck Hurgronje dalam buku De Atjèhers menuliskan dengan cukup detil mengenai perbudakan yang jadi bagian kehidupan masyarakat Aceh tempo dulu.
Snouck menjelaskan budak di Aceh paling umum merupakan warga Nias, Batak, dan Abeusi. Mereka yang dari Nias paling banyak dan disayang karena sifatnya penurut, rajin, dan dapat dipercaya. Perempuannya cantik-cantik dan pemudanya kerap jadi penari seudati. Budak Abeusi adalah sebutan warga Aceh untuk budak-budak yang berasal dari Afrika. Kata Abeusi merupakan sebutan untuk orang Abesinia atau Ethiopia.
Baca juga: Istilah "Gulung Tikar" di adat Aceh, kepercayaan tentang penyakit dan jin
Hukum perbudakan di Aceh diatur secara hukum syariat islam dan adat. Hukum yang diberlakukan hingga pada hak yang didapatkan budak ketika menjadi istri, atau disebut gundik karena derajatnya dianggap lebih rendah.
Moehammad Hoesin dalam bukunya Adat Atjeh menuliskan bahwa dahulu kala pembesar-pembesar dan orang-orang kaya di Aceh awalnya membeli budak untuk meringankan pekerjaan-pekerjaan kasar. Orang-orang yang dibeli untuk dijadikan budak adalah orang-orang dari luar Aceh yang bukan muslim.
Budak belian bekerja semata-mata untuk kepentingan tuannya. Mereka mendapat makan dan pakaian dari tuannya. Mereka dikawinkan juga sesamanya, dan anak-anak yang lahir menjadi tanggungan tuannya, juga kemudian menjadi budak juga. Ada juga turunan dari budak tersebut yang diperdagangkan di Aceh.
Halaman selanjutnya: Memperistri Budak
Memperistri Budak
Moehammad Hoesin menuliskan orang-orang kaya Aceh juga memelihara budak-budak perempuan sebagai isteri. Perempuan Nias atau keturunan Nias yang dimiliki mereka dikawininya juga karena kecantikannya.
Perkawinan ini jarang berjalan lama karena yang dilihat adalah paras elok perempuan saja yang pada suatu waktu akan lenyap.
Meskipun perempuan tersebut adalah budaknya, tetapi hak anak-anak yang diperoleh dari isterinya ini adalah sama dengan hak anak-anak yang diperoleh dari isteri bangsawan atau bukan budak.
Anak laki-laki dari gundik bila memenuhi syarat-syarat tertentu diangkat juga di Aceh dahulu menjadi kepala-kepala daerah, misalnya Uleebalang/Keudjruen dan sebagainya. Dalam pembagian harta pusaka anak-anak dari gundik sama haknya dengan anak-anak dari isteri pertama yang bukan gundik.
Meski begitu, secara pergaulan anak-anak tersebut tetap dibedakan karena di tubuhnya mengalir darah budak. Mereka ada sebutan tersendiri, seperti Si Sidjuek untuk seorang perempuan turunan budak dan Lèm Radjalèm untuk anak budak laki-laki.
Baca juga: Pemkab Aceh Jaya lestarikan prosesi adat seumeuleung
Memerdekakan Budak
Moehammad Hoesin menulis bahwa perbudakan di Aceh lenyap sejak pemerintahan Belanda menguasai Aceh. Nama Si Sidjuek dan Lèm Radjalèm dengan sendirinya menjadi lenyap pula.
Selain itu, dengan mengindahkan ajaran Islam dan mengingat perikemanusiaan, orang Aceh berangsur-angsur memerdekakan budak mereka. Mereka yang dibebaskan mendapat bantuan penghidupan dari bekas tuannya, istimewa dalam waktu-waktu pertama dari kemerdekaannya.
Ada juga yang memperoleh harta emas sekadarnya dari bekas tuannya. Bukan tak ada pula diantara mereka yang ditunjuk menjadi pengawas atas harta-harta bekas tuannya itu dengan mendapat upah, sesuai dengan perjanjian yang mereka sepakati.
Lazimnya bekas budak itu mengunjungi bekas tuannya pada hari-hari raya, dan mereka juga mendapat hadiah saat itu. Kunjungan ini dan kunjungan di kala kematian adalah merdeka dan bukan berupa paksaan.
Karena ada diantara bekas budak itu yang tidak mau memutuskan silaturarrahim dengan bekas tuannya, maka budak itu diambil sebagai anak angkat dan diberikan bantuan modal untuk hidup. Kemerdekaan diberikan kepada budak yang sakit, maka ia diobati terlebih dahulu sampai sembuh betul.
Pada setiap hari raya oleh bekas tuan memberikan pakaian kepada isteri dan anak-anak bekas budaknya. Pemberian ini adalah hadiah dan tidak menjadi kewajiban lagi.
Disebabkan ajaran Islam, maka budak-budak di Aceh dahulu kala diperlakukan dengan baik oleh tuannya. Adat yang merendahkan derajat dari mereka itu perlahan-lahan hilang. Ketika Belanda menguasai Aceh, perbudakan dilenyapkan sekaligus dan orang bisa dihukum apabila masih memiliki budak.
Baca juga: Kenali Musuhmu untuk Mempengaruhi Orang Lain, ini Manfaat dan Caranya
Masa ketika Aceh Memberlakukan Perbudakan
Oleh Redaksi Antara Aceh Rabu, 24 Juli 2024 17:30 WIB