Di mana, kata dia, dalam Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban (PSDK) disebutkan bahwa LPSK dapat membentuk perwakilan di daerah sepanjang sesuai dengan keperluan.
"Nah, yang menjadi masalah adalah frasa sesuai keperluan. Kalau kami perlu, kemudian kementerian terkait lainnya yang memeriksa merasa tidak perlu, ini yang menjadi kendala," katanya.
Oleh karena adanya pembatasan pada regulasi, selama 17 tahun LPSK berdiri, baru memiliki lima kantor perwakilan, yaitu di Medan, Sumatera Utara, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTT.
"Tiga daerah, di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTT itu pun baru bisa kita jalankan tahun ini," ujarnya.
Baca: LPSK dorong Pj Gubernur Aceh alokasikan dana untuk pemulihan korban kekerasan
Di sisi lain, Wawan menjelaskan bahwa pembentukan kantor perwakilan ini sudah ada titik terang lewat perubahan kedua UU PDSK. Dimana, dalam draf perubahan kedua tersebut, jika tidak diotak-atik lagi sampai paripurna, LPSK sudah diwajibkan membentuk perwakilan.
"Kalau tidak ada perubahan lagi sampai paripurna, perwakilan LPSK ini wajib atau mandatori dibentuk di setiap provinsi di seluruh Indonesia, dan dapat dibentuk di kabupaten/kota sesuai keperluan," ujarnya.
Wawan menegaskan pihaknya sangat ingin kehadiran perwakilan di provinsi, maka dari itu sebelumnya mereka telah menginisiasi penghubung di daerah.
"Karena itu, inisiasi pembentukan kantor penghubung itu kami lakukan sebagai upaya, ikhtiar kami. Sehingga menjadi embrio untuk dinaikkan statusnya jadi kantor perwakilan," katanya.
"Kami ingin punya kantor perwakilan. Nah, kalau ini terjadi, maka akses keadilan bisa dirasakan seluruh masyarakat," demikian Wawan Fahrudin.
