Minggu, 26 Desember 2004, sekitar pukul 07.59 WIB gempa bumi berkekuatan 9,2 skala Richter mengguncang provinsi paling ujung barat Indonesia dan diikuti gelombang tsunami yang menewaskan lebih dari 230.000 jiwa.
Di balik semua berita duka bencana itu, banyak kisah dramatis dari perjuangan masayarakat Aceh untuk tetap hidup di tengah terjangan gelombang tsunami.
Seperti kisah salah satu korban selamat bernama Bundiyah atau yang kerap disapa Mak Kolak warga Lampulo, kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
Mak Kolak, dikala itu baru saja selesai menjajakan dagangannya berupa nasi, dan juga kolak di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo, Banda Aceh.
Tiba-tiba gempa berkekuatan besar menggoyang tanah serambi mekkah selama tujuh menit membuatnya terhuyung hingga jatuh ke atas keranjang ikan. Suara dzikir serta adzan sahut menyahut tak juga membuat gempa reda.
"Saya pikir udah kiamat hari itu. Saya nggak pikir air laut akan naik, yang saya pikir, ini kalau pecah tanah, masuk saya ke dalam tanah," katanya mengenang kisah empat belas tahun silam, ketika di jumpai di Museum Kapal Tsunami, Lampulo.
Mak Kolak yang hari itu baru memperoleh uang sekitar Rp.85.000 memilih merapikan dagangannya dan kembali ke rumah. Belum lagi hilang rasa takutnya, ia kembali dikejutkan oleh suara dentuman besar.
Aceh yang saat itu juga sedang berada pada masa konflik, membuat warga mengira suara dentuman yang terjadi berasal dari ledakan bom.
Disusul dengan gelombang besar hitam pekat yang muncul di tengah laut.
Empat belas tahun silam, wanita yang kini berusia 69 tahun itu merupakan satu dari 59 korban selamat, berkat sebuah kapal nelayan yang terseret ke desanya. Gelombang besar membawa kapal itu hingga tersangkut di atap rumah warga, yang kini kapal tersebut dijadikan objek wisata Museum Kapal Tsunami.
Sebelum adanya kapal tersebut, Mak Kolak memilih naik ke lantai dua rumah warga. Akan tetapi air laut turut memenuhi isi rumah.
"Sebelumnya saya masih di TPI, beresin barang. Saya lihat air laut tinggi, orang semua berlarian, saya nggak lari. Saya memilih diam, saya udah pasrah, hari itu saya pasti mati. Tapi saya tersadar, seperti ada yang menyuruh saya lari untuk naik ke atas rumah warga di lantai dua. Saya bilang ke orang-orang, air laut naik, air laut naik. Tapi orang mengira saya sudah gila," ujarnya.
Menurutnya, gelombang besar yang bergulung-gulung itu seperti ular yang mencari manusia. Ia memilih pasrah.
"Kami udah pasrah. Lagi kami minta-minta maaf, ternyata Allah berkehendak lain, tiba-tiba ada kapal yang nabrak rumah, kami pikir rumah yang hancur ini dihantam gelombang, ternyata kapal nelayan," lanjutnya.
Ia dan 58 warga lainnya berada di atas kapal selama 9 jam. Kini Mak Kolak atau yang memiliki nama asli Bundiyah itu menjadi pemandu wisata di Museum Kapal Tsunami dengan menceritakan kisahnya 14 tahun silam kepada setiap pengunjung yang datang.
Kisahnya ini juga diabadikan oleh Ahmad Ariska dan Siti Maghfirah dalam sebuah film dokumenter berdurasi 13 menit. Film berjudul Survivor itu diproduksi selama dua bulan. Dan merupakan bagian dari program Aceh Japan Community Art Project 2018.
Program itu bagian dari rangkaian kegiatan peringatan 14 tahun tsunami Aceh, yang ditayangkan di Museum Tsunami pada tanggal 24 Desember 2018 lalu.
Selain itu kisahnya ini juga telah diabadikan dalam bukunya yang berjudul 'Nestapa Tsunami Aceh, Saksi Fakta Kapal di Atas Rumah'.
Meskipun pernah berada di ujung maut, kini Bundiyah dapat bangkit, hingga salah seorang anaknya merupakan lulusan S2 Amerika.
Kisah Mak Kolak yang selamat dari tsunami 14 tahun silam
Kamis, 27 Desember 2018 12:19 WIB