SALAH satu tawaran beasiswa dari pemerintah Aceh lewat Lembaga Pembinaan Sumber Daya Manusia (LPSDM) bagi putra-putri Aceh tahun 2014 ini seperti yang bisa kita akses dalam website mereka adalah beasiswa belajar Islam ke Amerika, yang dalam dunia akademisi lebih dikenal dengan istilah Islamic Studies. Program beasiswa Islamic Studies ini bagi menarik kita kaji, relevan kah program itu dengan kebutuhan kekinian Aceh dan masyarakatnya? Pertanyaan lain yang harus dimunculkan, misalnya apa keunggulan belajar Islam di sana?
Harus diakui memang, dewasa ini Barat telah berhasil memberi pesona kemajuannya dibidang ilmu pengetahun dan teknologi kepada dunia Islam. Kemajuan pesat Barat ini telah menjadi magnet kuat yang menarik minat umat Islam dari seluruh dunia untuk belajar di negara-negara mereka. Tak heran jika kita melihat banyak umat Islam pergi ke beberapa negara maju di Eropa, Amerika dan Australia untuk belajar berbagai disiplin keilmuan seperti teknologi, science, filsafat atau bahkan tentang agama Islam.
Secara sosiologis, kondisi seperti ini adalah konsekuensi logis saat dunia Islam masih terpuruk oleh sebab penjajahan berkepenjangan yang mendera mereka. Saat Barat menjajah dunia Islam, mereka bukan saja menjajah secara fisik, militer dan ekonomi, tapi juga menjajah secara keilmuan. Sebagai contoh, saat Irak dijajah negara-negara Barat satu dekade yang lalu, perpustakaan-perpustakaannya dihancurkan, manuskrip-manuskripnya pun kabarnya tidak sedikit yang diangkut ke negara-negara asal penjajah. Dan sejarah juga mencatat, saat Aceh dijajah Belanda, banyak pula manuskrip-manuskrip Aceh yang diangkut ke Belanda.
Barangkali, selain dengan alasan metodologi, ketersediaan manuskrip-manuskrip hasil curian dan rampasan dari dunia Islam inilah yang menjadi salah satu alasan utama belajar Islam di sana saat ini telah dianggap sebuah kewajaran atau bahkan sebuah tuntutan(?) sehingga pemerintah Aceh pun menawarkan beasiswa belajar Islam ke Amerika kepada putra-putri Aceh.
Kritis untuk Islamic Studies
Pada dasarnya, belajar boleh dimana saja. Rasulullah pun pernah berpesan, ”tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Hanya saja, konteks belajar Islam ke Amerika atau negara Barat lainnya menjadi sesuatu yang berbeda apabila kita mau jujur dan berfikir secara kritis. Bisa kita sebut, belajar Islam di Barar lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Sejauh ini, hanya sedikit alumnus Islamic Studies yang mampu berperan membawa umat Islam menuju kebangkitan dengan melawan hegemoni berbagai tipu daya Barat yang menjajah. Sebut saja beberapa nama yang sudah masyhur, misalnya Syaikh Abdul Halim Mahmud lulusan Sorbone, Muhammad Mustafa al-A’zami lulusan Cambridge dan Syade Muhammad Naquib al-Attas lulus London.
Atau juga beberapa generasi baru seperti Hamid Fahmi Zarkasyi dan Syamsuddin Arif. Mereka mampu kebal atas virus para orientalis karena memang telah mempersiapkan diri secara akidah. Lulus dari Barat, mereka menemukan sesuatu yang berharga bagi dunia Islam, yaitu mengetahui bagaimana metodologi Barat (dengan segala kelemahannya) dalam menancapkan hegemoninya di dunia Islam dan dunia ketiga dalam berbagai tatanan kehidupan, bukan justru menjadi pembebek atas setiap rumusan pandangan Barat terhadap Islam. Ini model lulusan yang diharapkan karena dengan demikian mereka telah membekali umat Islam untuk maju dengan tetap menjadikan Islam sebagai solusi menuju kebangkitan sekaligus membantu merumuskan pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) yang berbeda dengan pandangan Barat terhadap Islam.
Namun di balik mereka yang kebal terhadap virus orientalis di Barat tersebut, realitas selama ini menunjukkan tidak sedikitnya alumnus Islamis Studies yang kemudian menjadi pembebek atas ide-ide dan ekspansi kapitalisme negara-negara Barat atas dunia Islam. Bisa disebut bahwa sangat sedikit alumnus Islamic Studies yang mampu menghidupkan nalar kritisnya atas hegemoni dunia Barat yang menjajah dunia Islam dalam berbagai model.
Realitas inilah yang ingin penulis kritisi dari program beasiswa kajian Islam dari pemerintah Aceh ke Amerika tersebut. Harus kita akui, sulit untuk tidak mengatakan bahwa studi-studi Islam di Barat tidak digunakan untuk mendukung ide-ide Barat dan agenda-agenda invasi mereka ke dunia Islam. Sulit untuk tidak jujur bahwa alumnus Islamic Studies umumnya cenderung radikal dalam wacana pemikiran, menuduh siapa saja yang tidak sesuai dengan cara pandang mereka sebagai kelompok radikal dan fundamentalis. Lihat misalnya Ulil Absar Abdala yang begitu gencar mempromosikan Islam liberal, pluralisme agama dan sekulerisme di Indonesia, yang padahal paham-paham ini sudah difatwakan haram oleh Majlis Ulama Indonesia sejak tahun 2005.
Contoh lain, seperti diberitakan islampos, dalam isu mafia Berkeley, banyak alumnus Barat yang pulang ke Indonesia dengan sistem ekonomi liberal dan pasar bebas. Alih-alih memakmurkan Indonesia, justru sekarang yang terjadi adlah ekonomi Indonesia dikangkangi oleh korporat asing yang menikmati “kebebasan” ekonomi yang dibawa oleh para sarjana kita. Alhasil, Indonesia pun terus menerus menjadi “sapi peras” yang hasil alamnya terus dikuras oleh kekuatan asing kapitalisme.
Kelemahan metodologi Barat
Hamid Fahmi Zarkasyi (Misykat: 2012), seorang yang pernah belajar pada orientalis mengatakan, ”Kelemahan dari belajar Islam di Barat ada pada Framework (manhaj) berfikir mereka dalam mengkaji Islam. Dari prinsip obyektifitas, Islam dikaji bukan untuk ibadah atau untuk menambah keimanan pengkajinya. Islam dikaji sebatas ilmu, dan ilmu dalam kacamata Barat harus berdasarkan fakta obyektif dan empiris”. Efeknya, dalam studi hadis dan Alquran misalnya, fakta-fakta yang tidak berbentuk empiris(nyata) tidak mampu mereka jadikan variabel dalam studi ulumul hadis dan Alquran.
Contoh lain, dengan filsafat hermeneutika (metode yang pada awalnya digunakan untuk penafsiran Bibel), Alquran juga menjadi produk budaya, bukan wahyu dari Tuhan yang pada akhirnya ujung-ujungnya adalah untuk desakralisasikan Alquran. Alhasil, tidaklah mengherankan jika keraguan terhadap kebenaran Alquran dan hadis semakin sering terlihat dari para alumnus Islamic Studies atau dari orang-orang yang mereka didik.
Sebagai contoh, lihat misalnya kasus seorang Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, Qasim Mathar, sebagaimana diberitakan oleh berbagai media online, tahun lalu menyebut bahwa Alquran perlu direvisi karena Nabi Muhammad Saw telah meninggal dunia sehingga tak cocok lagi. Sampai di sini, kita bisa memahami bahwa mereka yang belajar Islam di Barat dengan kesalahan pandang yang fundamental ini pada akhirnya justru tidak menawarkan solusi yang bermanfaat ketika pulang ke negerinya, tapi justru membawa permasalahan lain yang merusak kenyaman hidup umat Islam di negeri ini.
Selain Hamid Fahmi Zarkasyi, Syamsuddin Arif yang juga pernah belajar di Barat juga melakukan kritik terhadap metodologi Barat (2008) yang merasakan adanya motif ekonomi, politik dan agama kajian Islam di Barat. Nampaknya ini sangat beralasan apabila kita mau sedikit saja belajar pada sejarah Aceh, misalnya bagaimana peran orientalis Barat seperti Snouck Hugronje dalam membantu Belanda menjajah kerajaan Aceh dulu sebagai bukti ada misi ekonomi, politik dan agama dalam kerja-kerja orientalis. Ini belum lagi kita berbicara tentang fakta-fakta terbaru tentang penelitian-penelitian pesanan dari Barat (via sponsor) untuk mengatahui setiap inci kelemahan umat Islam.
Atas realitas ini, nampaknya pemerintah Aceh sudah seharusnya berfikir untuk menghentikan program beasiswa kajian Islam ke Barat serta menyadarkan pemuda dan akademisi Aceh tentang tidak pentingnya mereka belajar Islam ke Barat. Jika ke Barat, lebih baik belajar disiplin keilmuan saja yang memang hari ini masih menjadi kekurangan Aceh seperti sains dan teknologi. Banyak universitas-universitas lain selain di Barat yang bisa menjadi alternatif sebagai tujuan studi Islam. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah Alumnus Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Saat ini bekerja di Kanwil Kementerian Agama Prov. Aceh. Email khairipanglima@gmail.com
Orang Aceh Belajar Islam Ke Amerika?
Selasa, 18 Februari 2014 17:36 WIB