Lelaki berambut tipis yang sudah ubanan tersebut masih tetap berkutat dengan buku-buku dan mengkliping berbagai informasi yang diterbitkan media lokal dan media nasional yang beredar di ibu kota Provinsi Aceh setiap harinya.
Lelaki kelahiran Meulaboh Aceh Barat 26 Februari 1938 itu telah mengumpul berbagai klipingan koran dan majalah sejak akhir tahun 70 sebagai salah satu sarana dokumentasi dan bahan ilmu pengetahuan diberbagai bidang.
“Klipingan koran ini merupakan salah satu bahan yang dapat membantu mahasiswa misalnya untuk membuat tugas akhir dan ini merupakan sarana efektif yang ada saat itu untuk memperbanyak wawasan,” kata lelaki bernama lengkap Prof H Darwis A Soelaiman M A, Ph,d.
Di usianya yang tidak lagi muda, lelaki yang memiliki raung kerja pribadi berukuran 5x5 yang didalammnya dipenuhi buku-buku dan klipingan koran masih tetap bersemangat untuk membangun generasi bangsa melalui jalur pendidikan.
Dia mengaku pernah menjadi salah seorang pengagas pengintegrasian Sekolah Dasar yang saat itu belajar enam tahun dan Madrasah Ibtidaiyah belajar tujuh tahun pada tahun 1966 dan pada tahun 1978 dikeluarkan SK tiga menteri terhadap pengintegrasian sekolah yang dilaksanakan secara nasional.
“Untuk SD saat itu hanya bisa melanjut studi ke SMP dan SMA sedangkan MI hanya bisa melanjutkan MTS dan MA dan setelah adanya SK tiga menteri pengintegrasian kedua dapat terlaksana dan tidak ada perbedaan untuk setiap orang yang ingin melanjutkan studi,” katanya mengenang keterlibatannya dalam pengintegrasian pendidikan SD dengan MI sejak kembali ke Aceh.
Ayah dari empat orang anak tersebut memulai karirnya sebagai seorang guru di Sekolah Dasar (SD) Cileunyi Kabupaten Bandung pada tahun 1959 setelah menamatkan pendidikan SGA di Bandung.
Tak berhenti disitu, Darwis juga terus melanjutkan studinya di Universitas Pajajaran Bandung dan berhasil meraih gelar sarjana muda (BA) pada tahun 1963 dan pada tahun 1965 berhasil meraih gelar sarjana (Drs) di IKIP Bandung.
Sejak mengenyam pendidikan dibangku kuliah, ayah dari Dian Sawitri SE itu juga telah dipercayakan sebagai asisten dosen di lembaga pembinaan kurikulum IKIP Bandung.
Kemudian pada tahun 1965 setelah menyelesaikan studi di Bandung, Darwis kembali ke Tanah Rencong untuk mendedikasikan ilmu yang diperolehnya di perguruan tinggi “jantong hatee” rakyat Aceh khususnya dan juga mengajar di sejumlah PTS di provinsi itu.
Sejak mendedikasikan diri untuk mengabdi di Unsyiah, lelaki yang terlahir 75 tahun silam tersebut telah banyak terlibat dalam banyak seminar dalam dan luar negeri serta berbagai prestasi yang diraih dari bidang ilmu yang digeluti tersebut.
Untuk riwayat kepangkatan di Pegawai Negeri Sipil, ia memulai dari golongan E/II pada 1 Desember 1962 dan golongan IV/e guru besar FKIP Unsyiah pada 1 Oktober 2002.
Lelaki yang pensiun dalam jabatan guru besar tersebut kembali mendapat jabatan guru besar emeritus (IV/e) pada Maret 2011 dalam bidang filsafat pendidikan untuk masa lima tahun.
Dalam kesehariannya sebagai seorang Dosen di lingkungan FKIP Unsyiah, Darwis mengajarkan sembilan mata kuliah yakni filsafat umum, filsafat pendidikan, ilmu kurikulum, metodlogi pengajaran, sistem pendidikan guru, profesi guru, sosialogi pendidikan, metode penelitian (S2) dan filsafat ilmu (S2).
Sedangkan mata kuliah yang diajarkan untuk fakultas di luar FKIP yakni filsafat ilmu S2 IAIN Ar-Raniry, filsafat ilmu (S2 IESP) dan filsafat komunikasi S! Fisipol.
Berbagai disiplin ilmu itu dengan mudah diajarkan kepada mahasiswa yang ada di FKP Unsyiah khsusunya dan PTS lainnya setelah ia berhasil meraih berbagai jenjang ilmu seperti diploma (ACE) di Bristol University Bristol England selesai tahun 1974, S2 (MA) di Macquarie University Sydney Australia selesai tahun 1979, dan menyelesaikan gelar S3 (Ph,d) di Macquarie university Sydney Australia tahun 1984.
Darwis yang berhasil menyelesaikan gelar di luar negeri itu juga telah lalang melintang ke berbagai negara melalui kegiatan dan seminar internasional yang di gelar seperti di Amerika Serikat, Eropa, Hongkong, Jepang, Afrika Selatan, Thailand dan Singapura.
Didalam berbagai kesempatan ia tak pernah jenuh mengutarakan bahwa keberhasilan pendidikan di Tanah Air ini bukanlah hanya disebabkan oleh satu faktor yakni sekolah tetapi melibatkan banyak faktor lainnya seperti keluarga dan lingkungan masyarakat.
“Tanggung jawab pendidikan bukan hanya pada seorang guru dan sekolah tetapi tanggup jawab semua komponen bangsa sesuai dengan kadarnya,” kata Darwis yang menjadikan hal tersebut pembakar semangat.
Ia mengatakan untuk memajukan pendidikan sesuai yang diharapkan maka perlu keikutsertaan semua pihak, mulai dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat tempat peserta didik tinggal.
Dijelaskannya, Aceh memiliki sebuah kekhususan dalam pendidikan yang hendaknya harus diwujudkan oleh Pemerintah Aceh yakni pendidikan Islami atau dengan visi dan misi pasangan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf pendidikan berlandaskan dinul Islam.
“Pendidikan Islam telah dicanangkan sejak tahun 2000 dan pihaknya juga telah membuat renstra pendidikan, namun pelaksanaannya belum berjalan maksimal di lapangan hingga saat ini,” katanya.
Dalam reinstra tersebut termuat empat pilar yakni akases pendidikan, kedua mutu, ketiga manajemen dan mengunakan sistim Islami khusus untuk Aceh dan pilar yang digunakan tersebut juga mengadopsi dengan sistim pendidikan nasional.
“Keempat pilar tersebut saling berkaitan dan ini akan mampu meningkatkan mutu pendidikan jika sistim pendidikan berjalan secara maksimal,” katanya.
Mantan Ketua MPD periode 2003-2008 itu mengatakan pendidikan Islami bukan hanya karena ada mushalla, shalat jamaah, penerapan pendidikan agama bagi seluruh sekolah, membaca doa, tetapi pendidikan Islami merupakan penerapan nilai-nilai Islam dalam setiap mata pelajaran.
“Pendidikan Islami adalah perpaduan antara berbagai displin limu di sekolah dengan nilai-nilai agama dimana anak-anak memahi dengan seutuhnya terhadap nilai-nilai yang terkandung didalamnya,” katanya.
Ia mengatakan setiap guru menghubungkan antara apa yang terkandung dalam Al-quran dan Hadist terhadap materi-materi yang sampaikan baik itu mata pelarajan fisika dan bidang ilmu lainya.
“Peserta didik akan memahami dengan seutuhnya jika diberikan pemahaman dan penjelasan yang didalamnya ada terkandung nilai-nilai agama,” katanya.
Mereka akan menjadi bersih karena mereka paham akan kebersihan itu sebagai dari iman dan mereka akan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada karena mereka paham terhadap berbagai tindakan yang dilakukan.
“Semua ini merupakan hal yang belum tertulis dan ini merupakan tugas yang harus segera dituntaskan dalam menjadikan sebuah kekhasan yang dimiliki Aceh di masa mendatang,” katanya.
Karenanya, ia tak pernah bosan menyarankan agar Pemerintah Aceh dapat serius mempersiapkan sebuah konsep yang baku untuk melaksanakan pendidikan Islami sebagai kurikulum di provinsi berpenduduk sekitar lima juta jiwa itu.
Menurut dia, konsep pendidikan Islami yang dilakukan oleh Aceh tidak bertentangan dengan nasional sebab Pemerintah Pusat ikut mendorong adanya kekhususan yang dimiliki provinsi ujung paling barat Indoensia itu.
“Saya selalu menyarankan agar pendidikan Islami dapat dilaksanakan dengan baik di Aceh sehingga provinsi ini memiliki sebuah kurikulum tersendiri,” katanya.
Untuk memantapkan pelaksanaan tersebut perlu langkah tegas dari pemerintah seperti mematangkan konsep kurikulum secara tertulis dan guru yang memahami terhadap kurikulum dan murid.
“Persiapan secara matang dari Pemerintah Aceh terhadap konsep pendidikan Islami akan mampu mewujudkan kekhasan untuk pendidikan di provinsi ini,” katanya.
Ia mengaku sulit untuk mewujudkan pendidikan Islami di Aceh jika Pemeirntah tidak membuat sebuah konsep yang jelas dan mempersiapkan sumber daya manusia untuk melaksanakan program tersebut secara menyeluruh.
Ia mengatakan sekolah Islami merupakan sekolah yang didalammnya terdapat guru, staf sekolah, murid dan berbagai yang ada di dalam lembaga pendidikan tersebut memuat nilai-nilai Islami.
“Saya yakin sistem pendidikan Islami yang diterapkan di Aceh juga akn mampu melahrikan pemimpin-pemimpin terbaik di masa mendatang,” katanya.
Ia mengatakan pendidikan Islami merupakan perpaduan antara beidang studi umum dengan agama sehingga setiap mata pelajaran yang diajarkan oleh seorang guru selalau didalammnya ada pendapat yang dikemukan menurut Al-quran dan Hadis.
Pendidikan Islami ini juga akan berjalan sukses jika faktor lainnya seperti keluarga dan lingkungan ikut mendukung anak-anaknya dengan selalu menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan serhari-hari.
“Pendidikan Islami merupakn sebuah sistim pendidikan yang diterapkan dengan nilai-nilai agama didalamnya,” katanya.
Ia mengatakan jika sistem pendidikan Islami di Aceh belum ada, maka Pemerintah Aceh harus mengadopsi kurikulum nasional tahun 2013 karena belum adanya kurikulum yang diatur secara khusus untuk provinsi itu.
“Kurikulum yang dijalankan di Aceh juga merupakan perpaduan dengan kurikulum nasional yang kekhususannya yang dimiliki Aceh yakni pendidikan Islami,” katanya.
Ia mengatakan kendala yang dihadapi Pemerintah Aceh saat ini seperti belum adanya konsep yang jelas dan tidak semua pihak memahami kurikulum yang akan ditetapkan secara khusus di provinsi tersebut serta perlu adanya regulasi yang mengantur tentang hal itu.
“Hendaknya Aceh memiliki qanun pendidikan Islami yang saat ini sudah ada Qanun Pendidikan Nomor 6 tahun 2008 dan harus dijabarkan dengan peraturan gubernur dalam merealisasikannnya,” katanya.
Darwis mengatakan dirinya tak pernah bosan mengingatkan para pejabat terkait dan pemerintah daerah untuk mewujudkan pendidikan Islami di Aceh sebagai rohnya pendidikan di masa mendatang.
Suami dari Cut Mariani itu juga pernah menjabat Pembantu Dekan I, II dan menjadi Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) selama dua periode dari tahun 1973-1977, Ketua MPD dan sekaran menjadi anggota MPD.
Sedangkan untuk pengalaman pekerjaan dibidang kebudayaan, Darwis pernah menjadi Ketua Lembaga Pembina Seni Budaya Daerah Aceh, Wakil Kepala Bidang Sosial Budaya pada Aceh Development Board, Ketua Pusat Kesenian Unsyiah dan sekarang menjadi Ketua Pusat Studi Melayu-Aceh.
Selain memberikan berbgai masukan melalui seminar dan pertemuan dengan berbgai pemangku kepentingan di Provinsi Aceh khususnya, Darwis juga kerap menulis pemikirannya disejumlah media massa salah satunya berjudul Pendidikan di Aceh Perlu Banyak Sentuhan Moral dan Seni dimuat Harian Serambi Indonesia pada2 September 1989.
Selain memberikankan ide-idenya melalui media massa, Darwis juga telah menulis sejumlah buku untuk menjadi sebuah acuan pendidikan bagi para generasi bangsa yang menekuni di jalur pendidikan.
Adapun sejumlah buku yang telah ditulis Darwis itu diantaranya pengantar kepada teori dan praktek pendidikan (1986) IKIP Semarang, Filsafat Pendidikan Barat (2001) penerbit Rosdakarya Bandung, Pengembangan Kurikulum (1998) dan Filsafat Ilmu (Perspektif Barat dan Islam).
Kemudiann buku Peranan Generasi Muda sebagai editor, Kompilasi Adat Aceh (1990) dan Nafas Tanah Rencong: Kumpulan Syair-syair dari Aceh (penyunting) yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Aceh pada tahun 1992.
Ia juga banyak menulis berbagai makalah tentang pendidikan yang disampaikan saat menjadi sebagai pembicara adapun judul makalah tersebut diantaranya Filsafat Ilmu Pendidikan, Reformasi Pendidikan di Aceh, guru masa depan, LPTK dan Profesionalisme guru, Pendidikan anak wanita.
Di usia yang makin senja, keinginan untuk berkontribusi dalam mewujudkan Pendidikan Islami masih bergelora dibenak lelaki yang masih terlihat begitu tegap dibanding dengan lelaki seumuran dengannya.
“Saya ingin Aceh mimiliki kekhasan untuk pendidikan yakni dengan hadirnya kurikulum pendidikan Islami di Masa mendatang,” kata Darwis.
Meski berbagai sumber ilmu dan informasi dapat dengan mudah diakses dengan internet, namun Pakar pendidikan Aceh tersebut tetap tidak meninggalkan kebiasaan mengkilping koran dan majalan yang menurutnya kini tidak zamannya lagi.***