BUPATI alaidinsyah Dan Syariat Islam
Rabu, 27 November 2013 19:47 WIB
H.T. Alaidinsyah adalah Bupati Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh periode 2012-2017. Asam manis dalam birokrasi pemerintahan baru dirasakan begitu pekat bersama wakilnya Drs Rachmad Fitri HD satu tahun kepemimpinannya. Alaidinsyah yang akrap disapa Haji Tito berkeingginan mewujudkan Aceh Barat berbudaya Islami, bukan hanya "polesan lipstik". Sampai-sampai ia membuat larangan terhadap hiburan organ tunggal (keybord). Larangan organ tungal bukan berarti mengekang keinginan masyarakat yang haus akan hiburan, namun suami Hj Herliani ini menginginkan setiap pertunjukan industri seni tarik suara harus disesuaikan dengan budaya Islam. Syariat Islam harus dibanggun, bukan berarti harus menghentikan industri para seniman yang sepatutnya mendapat dukungan penuh dari pimpinan, sehingga ada keberimbangan antara perekonomian rakyat dengan program pemerintah. Karena berlatar belakang pengusaha (kontraktor), Alaidinyah mengaku kesulitan mewujudkan Aceh Barat yang Islami, kerana itu ia menempatkan peran ulama sebagai garda terdepan menyikapi persoalan pembentukan aqidah umat. Anak tertua dari enam bersaudara ini mewujudkan impiannya dengan membentuk resam (qanun) gampong (desa), meski belum tuntas namun ia pesimis dengan peran kepala desa, mukim, tokoh adat dan ulama aturan itu dapat terlaksana. "Yang sangat sulit adalah merubah pemikiran masyarakat memahami apa itu syariat Islam, karena itu dengan resam gampong saya menuangkan berbagai pemikiran mewujudkan Aceh Barat berbudaya Islami," katanya. Dengan hadirnya resam gampong, H Tito ini berkeingginan tidak hanya para pejabat, namun seluruh masyarakat mengikuti pengajian majelis taklem, shalat berjama'ah lima waktu dan seluruh anak-anak wajib mendapatkan pendidikan. Sepintas mengamati panorama wajah, latar belakang dan cara pak Tito berpakaian yang cukup sederhana, seakan diragukan sikap agamais dimiliki anak mantan Kepala Desa Ujong Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan ini. Meski jabatan bupati merupakan pengalaman perdana dirasakan dalam birokrasi pemerintahan, akan tetapi tekad pak Tito membanggun Aceh Barat begitu kuat menggerakkan roda pemerintahan. Tidak bermaksud menyinggung kepala daerah sebelumnya, namun dampak birokrasi pemerintahan sebelum dirinya membutuhkan upaya keras merubah pola pikir pejabat dan masyarakat memahami syariat Islam. "Niat saya menjadi bupati beranjak dari keingginan melakukan pengabdian di Aceh Barat, sudah selayaknya putra daerah memberikan kontribusinya membanggun tanah kelahiran lebih baik untuk masa mendatang," imbuhnya. (Heru Dwi S)