Banda Aceh (ANTARA) - Konflik bersenjata berkepanjangan di Aceh sebelum digagasnya perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005, menyisakan penderitaan panjang bagi anak bangsa di provinsi paling barat ini.
Betapa tidak, ratusan unit gedung sekolah dan infrastruktur publik lainnya di bakar orang tak dikenal. Tidak kurang dari 10 ribu jiwa orang meninggal dunia dan korban luka juga setiap hari berjatuhan.
Ekonomi Aceh ketika itu juga terpuruk karena aktivitas perdagangan yang tidak normal di tengah-tengah berkecamuknya situasi tidak kondusif akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan pihak GAM.
Di tengah-tengah situasi keamanan yang tidak kondusif itu, kemudian bencana besar gempa berskala 9,1 skala richter yang disertai tsunami melanda sebagian besar wilayah pesisir Aceh pada 26 Desember 2004.
Lengkaplah penderitaan rakyat di provinsi ujung paling barat Indonesia ketika itu. "Indonesia menangis" menjadi sebuah kalimat yang mengisahkan kepiluan mendalam dirasakan penduduk Aceh, bangsa Indonesia akibat bencana tsunami Desember 2004.
Gempa dan tsunami yang menyebabkan tidak kurang dari 200 ribu jiwa penduduk Aceh meninggal dunia dan hilang itu mengundang rasa empati bangsa-bangsa di dunia untuk datang dan membantu daerah ini.
Beberapa saat setelah bencana tsunami, "perang" antara TNI/Polri dengan pihak GAM juga berhenti. Kemudian bangsa-bangsa di dunia, mendesak segera dihentikan konflik bersenjata, sehingga aman dalam menjalankan misi kemanusiaannya pascabencana.
Alhamdulillah, pihak Pemerintah RI dan GAM sepakat menghentikan konflik menuju ke meja perundingan yang berlangsung di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005.
Sebagai langkah awal dari buah perdamaian itu lah, maka Pemerintah RI dan representasi masyarakat Aceh sepakat melahirkan "payung hukum" berupa Undang Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
UUPA sebagai salah satu solusi menyelesaikan konflik bersenjata dan membangun kembali Aceh pascabencana gempa dan tsunami, sehingga harapan "Aceh Baru" segera terwujud di provinsi berpenduduk sekitar 4,8 juta jiwa itu.
Aceh terus berupaya bangkit untuk menuju sebuah provinsi yang maju dan makmur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan sejak ditandatangani kesepakatan damai antara GAM dan Pemerintah Indonesia, situasi di Aceh sangat kondusif. Kehidupan masyarakat jauh lebih baik dibandingkan masa konflik.
Namun harus disadari, lanjut Nova, perdamaian perlu diikuti dengan komitmen para pihak menjalankan kesepakatan yang telah ditandatangani.
Butir-butir kesepakatan itulah yang diharapkan menjadi "kapal" yang siap membawa masyarakat Aceh berlabuh ke pulau kesejahteraan, ujarnya bertamsil disela-sela menyerahkan “Buku PR” bersampul biru kepada Forum Bersama (Forbes) DPR dan DPD RI asal Aceh Periode 2019-2024, di Jakarta beberapa waktu lalu.
Nova menjelaskan, jika kita tinjau kembali butir-butir MoU Helsinki, terlihat jelas sebagian poin penting kesepakatan itu telah berjalan dengan baik.
Namun ada juga beberapa poin yang belum tersentuh. Meskipun begitu, lanjutnya, kita tetap berpikir positif bahwa upaya menjalankan komitmen itu tetap akan terus dilakukan oleh pihak-pihak terkait.
Lebih lanjut Nova berharap, seraya proses itu berjalan, upaya membangun Aceh harus terus diperkuat demi terwujudnya visi-misi “Aceh Hebat”. Kita harus optimistis Aceh punya potensi besar untuk berkembang.
Aceh memiliki SDM handal. Aceh punya sumber daya alam yang kaya, dan posisinya di lintasan Selat Malaka juga membuat daerah ini berpotensi sebagai tujuan investasi internasional.
Karenanya dibutuhkan kesadaran dan kerja sama untuk mendukung Pemerintah guna mengoptimalkan potensi-potensi tersebut. "Mari perkuat kekompakan dan bersama-sama mengarahkan pembangunan Aceh berjalan sesuai harapan kita semua," katanya.
DOKA permanen
Disisi lain, Plt Gubernur Aceh Ir Nova Iriansyah juga mengatakan Pemerintah Aceh akan memperjuangkan perpanjangan penerimaan dana otonomi khusus Aceh (DOKA) secara permanen dan berkelanjutan.
"Kita berharap otonomi khusus ini jadi permanen. Pembicaraan permulaan sudah dilakukan dengan Presiden Jokowi," kata Nova Iriansyah.
Namun, karena dana otonomi khusus tersebut menyangkut dengan undang-undang, Pemerintah Aceh juga menyatakan akan berkomunikasi dengan DPR.
Secara prosedur, hal ini harus masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2020 atau pada tahun 2021 mendatang, sehingga pada tahun 2022 angka dua persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) bisa dipertahankan permanen.
Menurut Nova, pihaknya telah mendapat sinyal positif dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal perpanjangan dana otonomi khusus ini.
Karena menyangkut peraturan perundang-undangan, Presiden Jokowi mengatakan untuk itu perlu dikomunikasikan dengan DPR RI.
Ia secara tegas membantah para pihak yang mengatakan dana otonomi khusus Aceh hanya dinikmati oleh para elite, sebagai hal yang sama sekali tidak benar dan tidak berdasar.
Pemerintah Aceh menyebutkan keberadaan dana otsus selama 11 tahun di provinsi itu telah berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 8,11 persen.
Dana otsus dinilai merupakan "urat nadi" Pemerintah Aceh dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Nova mengatakan, pergantian aparatur negara di tingkat Pusat terkadang membuat filosofi kekhususan Aceh tidak dipahami secara utuh.
Sementara itu, anggota DPR-RI Teuku Riefky Harsya mendorong agar percepatan pembangunan dan peningkatan ekonomi di Provinsi Aceh dapat semakin lebih baik.
"Hari ini, kita bersama-sama dengan teman-teman legislator dari Aceh, telah sepakat untuk mengawal kekhususan Aceh, agar dana otonomi khusus di Aceh dapat permanen dan berkelanjutan," kata Teuku Riefky Harsya.
Politisi Parta Demokrat itu mengakui saat ini masyarakat Aceh sangat membutuhkan adanya dana otsus agar percepatan pembangunan dan peningkatan ekonomi masyarakat di daerah ini agar semakin meningkat.
Selama ini, keberadaan dan pemanfaatan dana otsus Aceh juga sudah memberikan dampak positif terhadap penguatan ekonomi masyarakat paska bencana dan konflik.
Teuku Rifky yang juga Wakil Ketua Komisi I DPR RI bersama legislator Aceh yang tergabung dalam Forbes DPR dan DPD RI bersama pemerintah, berkomitmen memperjuangkan dana otsus itu agar keselarasan pembangunan di daerah semakin lebih baik, maju, berkembang demi kesejahteraan seluruh masyarakat di Aceh.
Dana otsus menjaga eksistensi perdamaian Aceh
Kamis, 5 Desember 2019 22:13 WIB