Pekanbaru (ANTARA) - Malam makin larut namun seorang tenaga kesehatan masih terjaga. Insomnianya makin akut, membuat perempuan itu terpaksa mengonsumsi obat tidur untuk sekadar terlelap.
Ia berharap saat bangun esok pagi semua tentang pandemi ini hanya mimpi.
Tapi saat ia bangun kenyataan pedih itu kembali dirasakannya. Ia menyaksikan empat orang terdekatnya terpapar COVID-19.
“Pertama adik saya positif (COVID-19), lalu ibu saya, adik saya satu lagi positif, dan anak saya juga positif,” kata perempuan yang mengaku bernama Gie itu kepada ANTARA pada medio September 2020.
Gie adalah salah satu tenaga kesehatan (nakes) di Poli Pinere RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, yang menangani uji cepat dan uji usap COVID-19 di fasilitas kesehatan milik Pemprov Riau. Tugas rutinnya tidak lepas dari baju pelindung diri dua rangkap, hingga masker medis dan sarung tangan berlapis-lapis yang menutupi sekujur tubuhnya.
Setiap hari ia melayani puluhan pasien baru, kontak erat pasien terkonfirmasi, hingga orang-orang yang memerlukan tes COVID-19 untuk kerja ke luar daerah.
Namun, di balik baju hazmat itu, ia tetaplah manusia biasa yang sadar bisa tertular virus dari pekerjaannya.
“Awal saya dapat surat keputusan bertugas, saya sudah bilang ke mama (ibu) mungkin risikonya besar. Anak saya ungsikan ke rumah mama,” katanya.
Gie juga adalah ibu tunggal dari dua orang anak dan juga tulang punggung keluarganya. Sejak bertugas di tim penanggulangan COVID-19 RSUD Arifin Achmad pada April 2020, anak-anaknya diasuh oleh orangtua Gie yang sudah berumur dan pensiunan PNS. Sedangkan ia bersama tenaga kesehatan (Nakes) penanganan COVID-19 lainnya menginap di Hotel Aryaduta yang disediakan khusus oleh Pemprov Riau.
Perjumpaan dengan anaknya lebih sering melalui panggilan video dengan gawai, sedangkan tatap muka acap kali hanya dari luar pagar rumah orangtuanya. “Dan hanya melihat dari luar pagar, itu pun kalau bawa makanan disemprot disinfektan dulu plastiknya baru diserahkan ke anak-anak dengan digantung di pagar. Sejak COVID-19 untuk memeluk dan mencium anak aja berpikir ratusan kali,” ujarnya.
Ia masih ingat terakhir kali bisa leluasa bercanda dengan anak-anaknya pada Agustus silam saat dapat cuti kerja tiga hari di akhir pekan.
Gie tidak langsung masuk ke rumah orangtuanya, melainkan singgah di halaman samping untuk mandi menggunakan pancuran air dari selang untuk menyiram bunga. Ia tinggalkan semua baju yang melekat di badannya, diganti dengan pakaian bersih di dalam rumah dan selalu mengenakan masker jenis N95.
“Sabtu itu saya sempet mandikan anak-anak, nyuapin makan, bantu buat PR, tidur siang sama anak sampai shalat Maghrib sama-sama. Jam delapan malam saya pulang. Terakhir meluk si adek pas Sabtu itu,” ujar wanita berusia 34 tahun itu.
Keluarga Terpapar
Ketika akhir Agustus itu Gie merasa ada firasat tak bagus melihat adik perempuannya datang ke rumah orangtua sambil bersin-bersin. Adiknya itu juga bekerja di RSUD Arifin Achmad, namun tidak menangani pasien COVID-19.
“Saya bilang jangan masuk rumah, di luar saja nanti takutnya COVID. Dia gak masuk rumah, hanya ambil sambal (lauk) doang dari pagar. Senin dia swab, hasil positif,” katanya.
Pascaberakhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Riau, jumlah kasus baru melonjak di mana-mana termasuk menginfeksi tenaga kesehatan. Ia juga menjalani tes dan hasilnya negatif, namun tidak dengan keluarganya. Anak bungsunya, dua adik dan ibu Gie terkonfirmasi COVID-19. Hanya ayah dan anak perempuannya yang dinyatakan tidak tertular virus mematikan itu.
Mengetahui kabar itu Gie panik dan segera mengungsikan anaknya yang sehat dari rumah orangtuanya, karena hasil uji swab ayahnya belum keluar. Sempat ia mengontak mantan suaminya untuk membantu menjemput anak mereka, tapi sang mantan ketakutan.
“Malam itu saya hubungi mantan laki (suami) saya minta tolong jemput karena mobil saya masuk bengkel. Dia gak mau, takut tertular,” ujarnya.
Melonjaknya kasus COVID-19 membuat tenaga kesehatan mengalami kelelahan fisik sekaligus mental karena selain menangani pasien juga harus memperhatikan keluarganya yang terpapar COVID-19.
Gie mengatakan kondisi tersebut membuatnya stres luar biasa. Dia serasa ingin menangis tapi air mata seakan kering, dan tidak bisa tidur. Perasaannya juga semakin pedih karena melihat anak lelakinya berulang tahun yang ketujuh saat masih di ruang isolasi rumah sakit.
“Tak bisa nangis lagi, cuma bisa ketawa. Awal keluarga masuk rumah sakit semua, saya macam orang stres, gak bisa tidur. Jam 12 malam saya keluar cuma buat naik mobil keliling kota tiga kali putaran dari hotel, Jalan Sudirman sampai simpang tiga bandara balik lagi. Terakhir saya bawa sholat supaya tenang,” ucapnya.
Permintaan Mama
Dengan masih mengenakan gaun operasi dan masker medis, Gie duduk di tangga ruang Poli Pinere saat menghubungi ibunya dengan gawai. Mama, panggilan sayang Gie kepada ibundanya, terlihat dari layar masih mengenakan masker di ruang isolasi.
Setelah setengah bulan lebih, ibu dan adik lelaki Gie masih juga positif COVID-19, sedangkan anak lelaki dan adik Angi yang perempuan sudah sembuh. Adik lelakinya punya riwayat jantung, sedangkan ibunya sudah berusia lanjut.
“Carikanlah Mama kamar di Rusunawa, kasihan banyak yang antre di bawah lebih butuh dari Mama,” ujar Ibu Angi lewat sambungan panggilan video.
Setelah sempat menolak, akhirnya Gie berjanji mengabulkan permintaan ibunya. Ia mengatakan ibunya merasa kondisinya stabil dan memilih dipindahkan ke Rusunawa Pekanbaru. Rumah susun sewa itu sekarang memang digunakan untuk mengisolasi pasien COVID-19 dengan gejala ringan dan orang tanpa gejala.
“Dokter juga sudah setuju dan memberi surat rekomendasi, saya cuma tak mau Mama stres,” katanya.
Ia mengakui pola pikir orang awam dengan Nakes berbeda tentang wabah COVID-19, karena mereka kini cenderung menyangkal penyakit itu ada.
Bahkan, keluarga dan orangtuanya sendiri tidak percaya terhadap penyakit mematikan itu, padahal ia sendiri sudah menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.
Meski begitu, ia merasa pandangan ibunya sudah berubah setelah mengalaminya sendiri. Selain itu, ibunya juga sudah melihat langsung pasien-pasien COVID-19 di rumah sakit dengan kondisi lebih parah terus bertambah, dan tidak bisa segera ditangani karena ruang isolasi penuh.
“Biar di Rusunawa saja, saya yakin Mama bisa. Kalau di ruang Pinere nanti dia tambah stres karena orang ada gejala semua,” katanya.
Gie mengaku tak henti-hentinya bersyukur dan tetap bersabar menjalani cobaan tersebut. Ia juga bersyukur masih ada teman-teman dan keluarga meski tinggal jauh tetap terus memberikan dukungan kepadanya.
“Yang pastinya saya masih bisa bersyukur, Allah masih sayang sama saya. Alhamdulilah masih sehat, dan saya harus sehat kalau tak sehat kasihan keluarga saya. Yang penting kita usaha, hasil belakangan. Serahkan sama pemilik alam,” tuturnya.
Ia juga berharap masyarakat lebih perduli untuk menjaga diri dan orang lain selama pandemi, minimal disiplin mengenakan masker.
“Rumah sakit penuh, ventilator penuh. Jangan sampai kita sudah kena baru percaya. Sebenarnya garda terdepan itu masyarakat itu sendiri, bukan tenaga medis,” demikian Gie.