"Ini merupakan sesuatu yang sangat visioner. (UU Cipta Kerja) satu lompatan yang memerlukan keberanian untuk mengambil keputusan tentang perubahan," ujar Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, selama ini banyak investor yang merasa kesulitan saat ingin memroses perizinan dan investasi karena proses perizinan usaha yang berbelit. Ditambah lagi adanya ego sektoral antara pemerintah pusat dan daerah.
"Otonomi daerah kita, kabupaten/kota, daerah, provinsi, yang melalui perda-nya kadang-kadang membuat masalah perizinan menjadi lebih ruwet. Maka untuk itu diperlukan suatu upaya yang reformatif," ujar dia.
"Maka kita melahirkan UU Cipta Kerja ini, terlepas dari kontroversi yang membayangi-nya, kami yakin bahwa ini sangat baik untuk kepentingan bangsa dan negara untuk memajukan perekonomian kita, dan tentunya pada gilirannya menciptakan lapangan kerja yang luas," tutur menteri 67 tahun itu.
Diketahui, adanya UU Cipta Kerja telah memangkas lebih dari 70 UU dari berbagai sektor.
Terkait dengan sanksi, sebagai produk administratif, pelanggaran perizinan berusaha yang diatur dalam UU Cipta Kerja selayaknya dikategorikan sebagai pelanggaran administratif.
"Perizinan adalah tindakan administratif, maka pada dasarnya kalau pelanggaran perizinan itu haruslah sifatnya administratif," kata politisi PDI Perjuangan ini.
Pelanggaran administratif, sepanjang pelanggaran-nya tidak mengandung unsur mala-'verse' (mengandung niat jahat), pengenaan sanksi-nya dalam UU Cipta Kerja dilakukan dengan prinsip 'ultimum remedium', yang mengedepankan pengenaan sanksi administratif daripada sanksi pidana.
"Kita tidak mengatakan tidak perlu sanksi pidana, karena kadang-kadang bisnis juga mau meng-'extend' keuntungan sebesar-besarnya, sehingga dapat berakibat K3L (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan). Itu baru masuk ranah pidananya. Gradasi-nya nanti kita susun secara baik," ujar dia.