Banda Aceh, 14/1 (Antaraaceh) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Anak Aceh menemukan delapan jenis "game online" yang berbahaya bagi anak, karena bisa merusak kepribadian calon-calon generasi penerus ini.
"Ibarat candu, perlahan-lahan efek game tersebut merusak sisi psikis dan kepribadian anak. Kita selaku orangtua cenderung abai menyangkut upaya preventif terhadap gejala ini," kata Manager Program pada LBH Anak Aceh, Rudy Bastian, di Banda Aceh, Rabu.
Kedelapan "game online" yang berbahaya bagi anak untuk saat ini adalah "Point Blank", "Counter Strike", "World of Warcraft", "Call of Duty", "RF Online", "AION", "Gunbound", dan "Lost Saga".
"Game online' itu menawarkan sensasi praktis bagi anak dengan nuansa perang-perangan, perkelahian, pembantaian etnis, perang antarsuku, dan bahkan pembunuhan sadis terhadap siapapun yang dianggap lawan," katanya.
Usaha mencontoh dan meniru tokoh-tokoh dalam 'game online' itulah yang ditakutkan dalam kehidupan si anak. Setiap anak yang bermain "game online" itu mendapatkan suasana menegangkan dan menantang tak terkecuali jika "game" itu dimainkan orang dewasa.
Ia menegaskan bahwa "game online" itu akhir-akhir ini gencar diminati oleh semua orang, khususnya anak-anak yang masih dibawah umur.
"Hasil penelaahan kami, game online saat ini di Aceh lebih digandrungi oleh anak usia 8 sampai 14 tahun. Warung internet atau warnet adalah tempat penyedia game online yang selalu ramai dikunjungi oleh anak, atau bisa juga dikatakan sebagai rumah kedua bagi mereka dalam bermain," ujarnya.
Alasan anak senang bermain "game" adalah karena ingin mencoba hal yang baru dan juga untuk dapat menghilangkan stres, karena tugas sekolah ataupun adanya suatu masalah, padahal "game online" seyogyanya diperuntukkan bagi usia 17 tahun ke atas, katanya.
"Terlalu sering bermain game dapat mempengaruhi kepribadian anak itu sendiri, karena anak usia 8 sampai 14 tahun cenderung akan menyerap dan meniru segala sesuatu yang dilihat, sehingga dapat berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya," katanya.
Sejumlah efek lainnya juga bakal muncul pada si anak, menurut dia, di antaranya masalah sosialisasi, komunikasi, dan empati si anak dengan orang lain sekitarnya. Kondisi ini memicu agresifitas anak dan terkikisnya hubungan sosial anak terhadap kondisi sekeliling.
"Kondisi ini bakal diperparah ketika si anak yang kecanduan game online itu tidak mempunyai uang untuk bermain, maka dia akan melakukan tindakan mencuri dan memalak kawannya guna bisa mendapatkan uang untuk dapat terus bermain game online tersebut," ujarnya.
Ia menilai bermain game online identik dengan duduk berjam-jam di depan komputer atau pun laptop dengan memainkan game-game tertentu yang membuat mereka asyik sendiri dan susah untuk diganggu ataupun diajak berinteraksi.
"Kecuali jika mereka mempunyai masalah mengenai game tersebut baru mereka bisa kita ajak bicara. Tidak asing ketika game onlinenya kalah dengan lawannya, si anak bakal mengeluarkan ucapan-ucapan yang semestinya tidak mereka ucapkan," katanya.
Apalagi sekarang ini cukup banyak "game" yang sering dimainkan oleh anak-anak yang di dalamnya mengandung unsur kekerasan, dampak negatif dan bahaya "game online" bagi anak yang satu ini dapat membentuk karakter anak menjadi seorang pemberontak, rasa ingin tahu yang besar akan segala sesuatu yang sebenarnya dilarang, serta mempunyai tingkah laku yang kadang sangat sulit diterima oleh masyarakat.
"Harapan kami kepada oreng tua anak agar lebih tegas dan waspada lagi dalam merawat anak-anaknya supaya perkembangan psikologinya tidak terganggu gara-gara 'game online'. Kita selaku orang tua harus selektif dalam mengingatkan dan memilih 'game online' yang tepat untuk dimainkan si anak," tutur dia.
Ia menyatakan orang tua gampang sekali mengizinkan anaknya bermain "game online" dengan alasan supaya anaknya tidak jenuh dengan aktifitas belajar yang sudah dijalani selama ini.
"Tapi kita cenderung apatis mendorong anak memilih game online yang cocok dan beredukasi bagi anak," kata Rudy Bastian.