Banda Aceh (ANTARA) - Pengamat Kebijakan Publik Aceh Nasrul Zaman menyatakan bahwa Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Achmad Marzuki memiliki tugas menyelesaikan tiga permasalahan utama di Aceh yakni kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.
"Tiga problem besar masyarakat Aceh yaitu kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, maka Pj Gubernur Aceh harus memiliki energi lebih untuk bisa mengurai dan menyelesaikan masalah pokok tersebut," kata Nasrul Zaman, di Banda Aceh, Kamis.
Nasrul menyampaikan, saat awal kepemimpinan Gubernur Aceh sebelumnya menargetkan bisa mengurangi kemiskinan satu persen per tahun sesuai RPJM Aceh 2017-2022, sehingga menjadi 10 persen pada akhir 2022.
Namun, yang terjadi jumlah penduduk miskin di Aceh tetap pada angka 15,5 persen bahkan cenderung meningkat seperti pada Maret 2021 bertambah 19,23 ribu jiwa dibanding Maret 2020 lalu.
Lalu, persentase penduduk miskin di Aceh terus mengalami kenaikan dari 15,33 persen menjadi 15,53 persen atau bertambah sejumlah 16.000 jiwa, dan Aceh tetap masuk lima besar termiskin di Indonesia.
"Tingkat pengangguran terbuka Aceh juga berada pada 10 besar nasional atau sejumlah 6.6 persen jauh lebih besar dari provinsi yang baru terbentuk Kalimantan Utara pada angka 5.0 persen," ujarnya.
Soal kesehatan, kata Nasrul, selain cakupan angka layanan kesehatan ibu hamil hanya 76.7 persen atau terendah 12 se-Indonesia, cakupan imunisasi pada ibu hamil hanya 49.9 persen.
Nasrul menyebutkan, untuk cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi hanya 41.8 persen dan cakupan UCI hanya 21.3 persen, keduanya terendah se-Indonesia. Ditambah dengan tidak ada satupun kabupaten/kota di Aceh mampu melakukan imunisasi lengkap bagi warganya.
Nasrul juga menuturkan, cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang terus menurun persentasenya tersebut juga berdampak pada tingginya angka stunting Aceh pada 2021 yang mencapai 33.3 persen atau hanya turun 4 persen dari tahun 2018 yang mencapai 37.8 persen.
"Angka ini menunjukkan bahwa dari tiga anak Aceh maka satu diantaranya pasti stunting, ini adalah tragedi bagi masa depan Aceh hingga beberapa dekade mendatang," kata dosen Universitas Syiah Kuala itu.
Dari sisi pendidikan, lanjut Nasrul, tingginya akan lulusan siswa SLTA Aceh yang diterima di PTN bukanlah ukuran kemajuan pendidikan, karena di Aceh sendiri terdapat 11 perguruan tinggi atau terbanyak dari seluruh provinsi di Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Maka, untuk dapat mengukur kualitas pendidikan SLTA di Aceh harus melalui nilai rata-rata siswa yang berhasil diperoleh pada SBMPTN 2022.
"Berdasarkan laporan LMPT diketahui nilai rata-rata capaian siswa-siswi Aceh masih terendah di Sumatera (≤ 512," ujarnya.
Karena itu, Nasrul Zaman menegaskan bahwa Pj Gubernur Aceh memiliki tugas menyelesaikan semua permasalahan tersebut, sehingga harapan kesejahteraan masyarakat Aceh dapat wujudkan.
Nasrul Zaman menambahkan, langkah awal menangani masalah tersebut bisa melakukan seleksi jabatan tinggi pratama untuk semua tingkatan, dengan mekanisme yang fair dan inklusif.
Setelah tim terpilih, maka selanjutnya memastikan tim bekerja berdasarkan data dan fakta sehingga terbangun program pembangunan Aceh yang evidence base secara terencana bertahap, terstruktur, terukur dan berkesinambungan.
"Libatkan semua stakeholder agar mendapat formula dan strategi penanganan sektor kemiskinan, pendidikan, kesehatan ini, sehingga harmoni pembangunan lebih terasa dan mensejahterakan," demikian Nasrul Zaman.