Banda Aceh (ANTARA) - COVID-19 memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian secara luas. Pandemi mempengaruhi penurunan baik dari sisi permintaan maupun penawaran di pasar global.
Di masa pandemi yang mulai kondusif, berbagai negara berusaha untuk pulih melalui berbagai kebijakan. Namun, terdapat kendala dalam proses pemulihan tersebut seperti inflasi dan krisis energi.
Kenaikan permintaan yang mulai meningkat selama masa pemulihan tidak diiringi dengan kapasitas produksi yang seimbang sehingga proses pemulihan memunculkan inflasi terutama di sektor energi.
Di sisi lain, konflik Rusia-Ukraina juga menyebabkan harga energi dan komoditas lainnya dari negara tersebut menjadi terimbas. Hal ini memperburuk proses pemulihan ekonomi pasca pandemi dan memicu krisis energi global. Dengan demikian, krisis energi yang terjadi secara global memberikan pelajaran bagi Indonesia untuk tidak hanya bergantung pada sumber energi migas yang tidak berkelanjutan dan dipengaruhi harga pasar global. Terlebih, Indonesia saat ini menjadi net importir dari beberapa sumber energi seperti minyak.
Untuk jangka pendek, Indonesia masih tergolong aman karena memiliki cadangan energi yang masih mencukupi. Namun, pada jangka panjang, Indonesia perlu bersiap diri mengingat energi yang digunakan mayoritas berupa energi yang akan habis.
Sumber energi di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan batu bara sebesar 37,62 persen, minyak bumi sebesar 33,40 persen, gas alam memberikan sumbangsih 16,82 persen, dan energi baru terbarukan (EBT) hanya 12,16 persen.
Oleh karena itu, pemerintah melalui PP 79/2014 dan Perpres 22/2017 menetapkan target bauran energi dari kontribusi EBT sebesar 23 persen di tahun 2025.
Selain untuk kemandirian energi, target tersebut sejalan dengan Paris Agreement dan komitmen Indonesia mencapai net zero emission tahun 2060. Hal ini penting dikarenakan emisi penggunaan energi menjadi salah satu penyebab perubahan iklim yang diprediksi memiliki dampak kerugian sebesar 40 persen PDB Indonesia di tahun 2050. Kerugian tersebut lebih tinggi dibanding estimasi dampak krisis COVID-19 di tahun 2020 yang hanya sebesar 8,8 persen dari PDB.
Angka tersebut berdasarkan penghitungan perbedaan target pertumbuhan PDB sebesar 5,3 persen dan realisasi yang minus 2 persen di tahun 2020. Pentingnya isu tersebut pun menjadikan transisi energi berkelanjutan menjadi salah satu topik utama dalam Presidensi Indonesia di G-20.
Dengan demikian, melalui berbagai momentum tersebut, pemulihan ekonomi berbasis EBT menjadi sangat diperlukan untuk menjaga ketahanan energi dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Namun, pembangunan berbasis EBT membutuhkan setup cost yang lebih mahal sehingga manfaat energi berkelanjutan kurang dapat bersifat inklusif. Padahal pembangunan berkelanjutan memiliki dampak jangka panjang yang signifikan.
Oleh karena itu, pesantren dapat mengurangi gap inklusivitas tersebut dengan mengintegrasikan keuangan syariah untuk pembiayaan pemanfaatan EBT di lingkungan pesantren.
Pemanfaatan EBT di Indonesia masih tergolong rendah yakni potensi EBT Indonesia sebesar 3.686 GW dan baru dimanfaatkan sebesar 11,55 GW atau 0,3 persen dari potensi EBT. Hal ini salah satunya disebabkan masih rendahnya green financing di Indonesia.
Berdasarkan survei, data kredit UMKM & total kredit berdasarkan LBU, rasio green financing terhadap total kredit di tahun 2021 sebesar 8,35 persen, padahal Indonesia memiliki potensi EBT yang besar dari berbagai sumber di berbagai daerah, misalnya, potensi hidro terutama di Aceh, Sumbar, Sumut, dan Papua atau potensi angin di NTT, Kalsel, Jabar serta tenaga surya di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, potensi ZISWAF dan pesantren di Indonesia juga sangat besar baik harta bergerak maupun tidak bergerak. Misalnya, zakat yang memiliki potensi sebesar Rp327 triliun rupiah dan wakaf tunai sejumlah Rp180 triliun rupiah yang dapat dikelola atau disalurkan untuk dan oleh pesantren yang berjumlah 26.975 unit.
Kedua potensi tersebut dapat dimanfaatkan oleh pesantren melalui sinergi pentahelix mulai dari masyarakat, ulama, pemerintah, akademisi, dan pihak lainnya dalam penggunaan EBT, khususnya untuk konsumsi listrik pesantren.
Salah satu kontribusi yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam ekonomi berkelanjutan adalah dibentuknya Kerangka Kebijakan Keuangan Hijau Bank Indonesia. Kerangka kebijakan ini memiliki empat pilar, yaitu penguatan kebijakan hijau makroprudensial, pendalaman pasar uang hijau, pengembangan ekonomi & keuangan inklusif hijau, serta transformasi kelembagaan Bank Indonesia hijau.
Hal tersebut dapat diselaraskan dengan fungsi BI sebagai Akselerator, Inisiator, dan Regulator dalam ekonomi syariah. Terutama melalui kerjasama dalam Holding Ekonomi Bisnis Pesantren (Hebitren) untuk meningkatkan pemanfaatan EBT dalam lingkup pesantren dan sekitarnya.
Hebitren merupakan organisasi yang dibentuk untuk mendorong akselerasi penguatan ekonomi pesantren. Organisasi ini diinisiasi mulai dari tahun 2017 dalam acara ISEF (Indonesian Sharia Economic Festival) Bank Indonesia dan dideklarasikan secara nasional oleh Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin pada ISEF di tahun 2020.
Anggota Hebitren berasal dari berbagai pesantren di seluruh Indonesia baik dari binaan Bank Indonesia maupun mitra lainnya.
Hebitren dapat mempercepat sinergi penggunaan EBT untuk konsumsi listrik pesantren. Adanya Hebitren mampu meningkatkan efisiensi yang didapatkan dari skala ekonomi akibat terintegrasinya pesantren dalam Hebitren.
Pesantren umumnya juga memiliki lahan luas yang dapat dimanfaatkan untuk lahan pembangkit listrik dari EBT. Hal ini dapat diintegrasikan dengan lahan pertanian yang dimiliki oleh pesantren.
Salah satu program Hebitren yang dimotori pesantren Al-Ittifaq untuk usaha hortikultura dapat dikembangkan pembangkit tenaga surya. Pembangunan pembangkit listrik dapat diintegrasikan dengan lahan pertanian dalam konsep Agrivoltaics, yaitu penggunaan satu lahan untuk bertani di bawah pembangkit listrik surya.
Namun yang perlu diperhatikan, tidak semua jenis tanaman cocok untuk diterapkan konsep ini sehingga pembangunan pembangkit listrik perlu disesuaikan dengan potensi masing-masing daerah pesantren.
Penerapan PLTS di pesantren dapat menghemat biaya listrik sekitar 50-60 persen per bulan menurut pesantren Al-Azizah di Pati yang telah menggunakan PLTS.
Di jangka panjang, pembangkit listrik yang sudah masif dapat dikomersialkan ke PLN sesuai dengan PerMen ESDM 26/2021 tentang PLTS Atap sehingga penghematan bisa menjadi lebih tinggi lagi
Dengan skala ekonomi dari Hebitren, maka diharapkan pembangunan pembangkit listrik ini lebih efisien. Pada saat ini, biaya modal pemasangan PLTS Atap per 1 kilo Watt peak (kWp) sebesar Rp17 juta dengan payback period 7-10 tahun. Tentunya biaya tersebut dapat dihimpun dari berbagai sumber seperti pembiayaan perbankan syariah, ZISWAF, CSR, maupun urunan dana antar anggota pesantren Hebitren.
Dengan adanya sinergi pembangunan pemanfaatan EBT untuk konsumsi pesantren dan lingkungan sekitar, maka pesantren diharapkan tidak hanya mandiri secara ekonomi, tetapi juga mandiri di sektor energi dengan mendukung target bauran energi 2025 serta net zero emission yang disepakati secara global.