Pemerintah Aceh berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan tanpa mengenyampingkan anak-anak berkebutuhan khusus yang diyakini tersebar seluruh kabupaten dan kota di provinsi itu.
Upaya pemerataan pendidikan dengan tanpa membedakan strata sosial masyarakat dan status anak merupakan tanggungjawab pemerintah, termasuk bagi warga negara yang mengalami kelainan fisik dan mental.
Masalah pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus itu juga tercantum dalam peraturan Mendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Untuk menunjang pendidikan inklusif di Aceh, maka sejumlah program strategis dilakukan pemerintah sebagai bentuk komitmennya memperhatikan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa itu.
Kabid PLB-LS pada Dinas Pendidikan Aceh Saifullah mengatakan, perhatian pemerintah terhadap pendidikan inklusif yang dilakukan pada 2013 antara lain dengan memberikan pelatihan terhadap tenaga pengajar baik itu kepada guru di sekolah luar biasa maupun sekolah umum yang membuka kelas inklusif.
Salah satu tantangan dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah terbatasnya guru yang memahami metode pembelajaran terhadap anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.
"Di SLB, kita masih kekurangan guru yang mampu membimbing atau mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Apalagi bagi sekolah umum yang membuka kelas inklusif," kata dia menambahkan.
Kemudian pengiriman putra dan putri Aceh yang memperoleh beasiswa program S2 sebanyak 20 orang yang bekerjasama dengan UPSI Malaysia dan anggarannya bersumber dari APBA total senilai Rp3,6 miliar.
Selanjutnya pemberian beasiswa murni strata satu (S1) untuk calon guru Sekolah Luar Biasa se Aceh yang bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, masing-masing jurusan tuna netra dan tuna rungu sebanyak 74 orang dengan alokasi dana juga sebesar Rp3,6 miliar.
Program Pemerintah Aceh dalam mendukung serta memberikan perhatian terhadap pendidikan inklusif 2013 juga dalam bentuk pemberian beasiswa S1 kedua untuk guru SLB dan inklusif kerjasama dengan UPI Bandung bagi jurusan tuna netra dan rungu sebanyak 55 orang dengan dananya senilai Rp100 juta.
Perhatian lain dari Pemerintah Aceh terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus juga dalam memberikan tunjangan guru negeri SLB sebanyak 228 orang dengan alokasi dana Rp456 juta.
Bagi anak-anak berkebutuhan khusus, Pemerintah Aceh juga mengalokasikan dana senilai Rp2,7 miliar untuk program pemberian biaya makan anak asrama SLB sebanyak 600 orang di seluruh Aceh pada 2013.
Dinas Pendidikan Aceh terus menyosialisasi program pendidikan inklusif kepada para pemangku kepentingan khususnya di kabupaten dan kota di Aceh yang belum menetapkan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang dibarengi dengan penyusunan grand design masing-masing daerah (kabupaten/kota) 2014-2018.
Anggaran yang disiapkan Pemerintah Aceh dari APBA bidang Pendidikan Luar Biasa dan Luar Sekolah (PLBLS) termasuk untuk menunjang pendidikan inklusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus pada 2013 mencapai Rp14,98 miliar.
Dukungan dana
Untuk mendukung keberlanjutan program pendidikan inklusif, maka Pemerintah Aceh telah menambah alokasi anggaran (APBA) dari tahun sebelumnya menjadi sebesar Rp20 miliar pada 2014.
"Saya berharap Aceh akan menjadi daerah terdepan yang sukses menyelenggarakan pendidikan inklusif ini. Pemerintah Aceh mengalokasikan dana senilai Rp20 miliar dari APBA 2014," kata Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Hal itu disampaikan dalam sambutan tertulis dibacakan Sekda Aceh Darmawan pada deklarasi Aceh sebagai penyelenggara pendidikan inklusif. Gubernur mengatakan mulai tahun depan kebijakan pendidikan inklusif itu akan diperkuat dengan berbagai sarana dan ketersediaan tenaga ahli.
Zaini Abdullah juga menjelaskan pada 2013, Pemerintah Aceh telah menjalin kerja sama dengan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung guna mendidik calon guru Sekolah Luar Biasa yang nantinya ditempatkan di sekolah inklusif.
Tahap pertama, ia menyebutkan telah mengirimkan sebanyak 74 lulusan SMA untuk mengambil S1 pendidikan luar biasa, selain juga pengiriman tenaga pendidikan khusus bagi sarjana sebagai guru yang akan ditempatkan di SLB.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang dilaksanakan di sekolah atau kelas reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali, sebagai bagian pemerataan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dengan keistimewaan yang dimilikinya.
Sementara itu, Direktur Pembina Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Dikdas Kemendikbud Mujito, menjelaskan Aceh merupakan provinsi kelima di Indonesia yang menjadi pelopor pendidikan inklusif ini.
"Saya mengapresiasi Pemerintah Aceh yang sangat gigih memperjuangkan pendidikan inklusif ini, sehingga anak yang memiliki perbedaan bahasa, beresiko putus sekolah karena sakit, kekurangan gizi, tidak berprestasi, anak yang berbeda agama, penyandang HIV/ AIDS, mendapat pendidikan yang sama," katanya.
Dijelaskan, dalam program wajib belajar masih ada yang belum mendapat kesempatan belajar terutama anak yang berkebutuhan khusus. Jadi perlu keberpihakan untuk mendidik mereka yang memiliki kelainan tanpa diskriminasi, dengan pendidikan khusus dan layanan khusus.
Mujito menyatakan, pendidikan inklusif memberikan akses sebesar-besarnya kepada anak berkebutuhan khusus.
"Alhamdulillah tingkat kesempatan anak berkebutuhan khusus dalam mengakses pendidikan setiap tahunnya mengalami peningkatan menyusul adanya kebijakan pendidikan inklusif," katanya.
Disebutkannya, jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di seluruh Indonesia sekitar 325.000 orang dan jumlah anak yang telah dapat terlayani untuk mengakses lembaga pendidikan sudah mencapai sekitar 116 ribu anak.
Kebijakan sekolah inklusif tersebut memberikan akses besar kepada seluruh anak berkebutuhan khusus untuk bisa melanjutkan pendidikannya di setiap sekolah tanpa harus belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB).
"Artinya, anak-anak berkebutuhan khusus tidak harus sekolah di SLB tetapi mereka juga dapat menimba ilmu di sekolah umum," katanya menjelaskan.
Mujito juga mengatakan dengan adanya sekolah inklusif tersebut pemerintah tidak perlu membangun banyak SLB, tetapi mempersiapkan tenaga pengajar, sekolah dan lingkungan masyarakat.
"Kita terus mempersiapkan tenaga pendidik dan meningkatkan sosialisasi kepada seluruh masyarakat dan sekolah sehingga semua pihak dapat menerima anak berkebutuhan khusus dengan baik," katanya.
Pihaknya juga memberikan apresiasi terhadap komitmen Pemerintah Aceh dalam memberikan akses pendidikan dan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus di provinsi setempat.
Kepala Dinas Pendidikan Aceh Anas M. Adam mengatakan banyak tantangan dalam pendidikan inklusif. Salah satunya berupa masih ada 14 kabupaten dan kota belum menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Tantangan lain, disebutkan masih kurangnya tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi pendidikan luar biasa. Pemerintah Aceh sangat komit untuk memberikan perhatian kepada anak berkebutuhan khusus di provinsi itu.