Pekanbaru (ANTARA) - Pada 2016, kebakaran hutan dan lahan melanda di Kampung Pinang Sebatang Timur, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak. Pohon-pohon besar dan semak belukar hangus dilalap api. Saat itu warga mengungsi, banyak satwa mati akibat kebakaran hutan dan lahan tersebut.
Asap menyebar di mana-mana, hingga ke kabupaten tetangga. Sebagai saksi bisu, saat ini masih terdapat sisa-sisa pohon terbakar, seperti batang pohon yang menghitam jadi arang, serta akar-akar pohon yang masih menghunus dengan kulit yang hangus.
Sebagian lahan di desa tersebut dibiarkan menganggur beberapa lama, usai terbakar.
Hingga akhirnya pada 2017, muncullah Alex Safirman, seorang warga desa sebelah yang memberanikan diri mulai menggarap lahan hangus tersebut. Pada umumnya, lahan terbakar dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk ditanami kelapa sawit.
Berbeda dengan Alex, ia justru memanfaatkan lahan tersebut menjadi ladang pertanian dan peternakan terintegrasi. Dari lahan sepetak, ia mulai beternak sapi dan kambing. Sembari menjaga ternaknya, ia pun mulai bercocok tanam, seperti jagung, cabe, aneka sayuran atau buah-buahan di lahan tersebut.
Awalnya, ia memiliki tiga ekor sapi, dan hingga saat ini telah berkembang mencapai 100 sapi yang dikelola bersama kelompok tani yang dipimpinnya.
Melihat kegigihan Alex dan kawan-kawannya, PT Arara Abadi, sebagai salah satu anak usaha PT APP Sinar Mas, merasa tergerak untuk membantu kelompok tersebut agar terus tumbuh dan berkembang. Bantuan awal berupa bibit tanaman, benih ikan atau hewan ternak untuk dikembangkan. Bantuan Arara Abadi itu adalah bagian dari program Desa Makmur Peduli Api (DPMA). Sebuah gerakan untuk mengingatkan masyarakat agar tidak membakar saat membuka lahan.
Kini Alex dan beberapa rekannya, seperti Suryono, Barus, serta beberapa orang lainnya, tergabung dalam Kelompok Tani Mutiara Indah.
Lahan pertanian dan perkebunan yang dulu dikelola kurang dari satu hektare kini menjadi tujuh hektare. Bahkan, kini Alex dan kawan-kawan juga telah membuat lima kolam ikan nila.
"Kalau ikan nila masa panennya agak lama hampir sembilan bulan sejak bibit ditanam. Sambil menunggu panen tanaman yang lain, nanti bisa panen ikan," kata Alex saat ditemui pada Rabu (15/2) di kebunnya.
Aneka buah dan sayur hasil Kelompok Tani Mutiara Indah kini sudah sampai di pasaran di Kabupaten Siak dan Kota Pekanbaru. "Kalau untuk pemasaran, kita tidak pusing, sudah ada yang menampung," ujar Alex.
Untuk pakan ternak dan pupuk Kelompok Tani Mutiara Indah juga tidak kerepotan. Mereka bisa memproduksi sendiri dari olahan kotoran dan urine sapi. Demikian juga untuk pakan ikan yang diproduksi sendiri, bahkan bisa juga dijual ke pihak lain, termasuk kompos.
Dari peternakan dan pertanian terintegrasi itu, Alex dan lima anggotanya, masing-masing mampu meraih penghasilan Rp5 juta hingga Rp10 juta per bulan. "Itu dari sekitar 3,5 hektare saja, belum semuanya yang tujuh hektare," ujar pria yang telah dikarunia 10 anak ini.
Keberhasilan Kelompok Tani Mutiara Indah ini tak lepas dari bimbingan Toni Saputra yang merupakan sarjana pertanian. Toni adalah tenaga yang dikontrak perusahaan untuk membina dan memonitoring program Desa Manunggal Peduli Api, terutama di bidang pertanian dan peternakan.
Awalnya, banyak petani yang didampingi, namun lama-kelamaan jumlahnya semakin menyusut karena banyak yang gagal dan menyerah di tengah jalan. "Oleh karenanya, kami mencari petani yang mumpuni dan tidak mudah menyerah saat bekerja," ujar Toni.
Toni juga mengaku hampir setiap hari bergelut dengan kelompok tani di Desa Pinang Sebatang tersebut, sehingga mudah memantau perkembangannya.
Program Desa Mandiri Peduli Api sendiri ada sejak 2016 di Riau dan menyebar ke berbagai daerah. Saat itu banyak masyarakat atau oknum tertentu yang membuka lahan dengan membakar untuk dijadikan perkebunan sawit. Maraknya kebakaran dan pembakaran lahan tentu saja berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan setempat.
Oleh karena itu, APP Sinar Mas dan anak perusahaannya, seperti Arara Abadi, membentuk Desa Mandiri Peduli Api, dengan harapan tidak ada lagi pembakaran hutan dan lahan. Warga Desa juga turut mengawasi daerahnya agar tidak ada upaya pembakaran lahan oleh pihak tertentu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, warga desa sebenarnya tak harus menjadi petani sawit yang membutuhkan lahan yang luas. Para petani sawit di Siak atau di Provinsi Riau pada umumnya mampu menghasilkan Rp4 juta hingga Rp5 juta dari kebun sawit seluas satu hektare.
Apabila dibandingkan dengan petani atau peternak, seperti Alex Safirman dan lima kawannya, mereka mampu menghasilkan uang masing-masing Rp5 juta hingga Rp10 juta dari lahan sekitar 3,5 hektare. Artinya, Alex cs lebih banyak menghasilkan uang dari pada petani sawit.
Bahkan, kini Kelompok Tani Mutiara Indah sudah mulai membuka lahan sawah dan menanam sorgum sebagai pengembangan usahanya. "Kami terus berusaha dan tidak pernah takut gagal," kata pria berusia 53 tahun ini.
Alex pun kini kerap diundang menjadi nara sumber di beberapa balai desa, hingga di Ibu Kota Kabupaten Siak, untuk menceritakan kisah suksesnya sebagai petani dan peternak di tengah maraknya gempuran perkebunan sawit.
Bertani dan berternak tidak membutuhkan lahan yang luas, seperti perkebunan sawit atau yang lainnya. Tidak perlu juga membuka lahan dengan cara instan, seperti membakar, namun perlu kegigihan dalam mengolah lahan, seperti yang dilakukan Alex dan kawan-kawan.