Banda Aceh (ANTARA) - Mengenakan kemeja merah, seorang pria paruh baya berdiri tegak melihat ke arah jalan tak beraspal di kompleks Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.
Darma, pria 50 tahun, saat itu sedang menunggu truk-truk besar pengangkut sampah organik kembali dari pasar tradisional dan permukiman warga di Ibu Kota Provinsi Aceh ini.
Tepat pukul 16.00 WIB, belum ada mobil yang kembali, lalu ia bergerak menuju kotak besi besar tempat penyimpanan sampah organik atau yang dikenal dengan nama hidrolisis.
Baca juga: Warga di Aceh Barat buang sampah sembarangan didenda Rp300 ribu
Di TPA Gampong Jawa, Banda Aceh, itu terdapat 14 hidrolisis, tempat tersebut digunakan untuk pembusukan sampah organik yang dikutip dari pasar dan perumahan masyarakat, kemudian diolah menjadi pupuk kompos.
Langit mendung, hujan pun mulai mengguyur area TPA, tepatnya di lokasi intermediate treatment facility (ITF) atau tempat pengolahan sampah kompos dan biogas milik Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Keindahan Kota (DLHK3) Banda Aceh itu.
Bergegas, Darma mengarahkan ke satu tempat istirahat agar tak terkena hujan. Di sana ia menceritakan bagaimana pengelolaan sampah yang dilaksanakan di ITF tersebut, terutama terhadap sampah yang diolah menjadi pupuk kompos dan lainnya.
Pembuatan kompos
Sebagai pengelola ITF, Darma menjelaskan bahwa selama ini pihaknya mengelola sampah organik yang berasal dari TPA dan juga diambil langsung dari pasar tradisional terpadu Al Mahirah Lamdingin Banda Aceh.
Sampah organik setiap hari dikumpulkan dari pasar Al Mahirah, biasanya mencapai sekitar 500 kilogram (kg) per hari. Kemudian, hasil pemilahan sampah rumah tangga yang dikumpulkan pada TPA didapatkan sekitar 250 kg per hari.
Sampah yang telah dipilah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam hidrolisis untuk pembusukan. Satu hidrolisis itu memuat sekitar 700 kg sampai 900 kg.
"Untuk setiap hidrolisis kami masukkan sekitar 750 kg atau 900 kg. Jumlah ini kita batasi agar lebih mudah diproses karena kalau terlalu banyak susah lakukan pembalikannya," kata Darma.
Baca juga: Pemkab Aceh Barat targetkan PAD Rp2 miliar dari retribusi sampah
Setelah masuk ke dalam hidrolisis, selanjutnya dilakukan penyiraman dan pembalikan selama 2 sampai 3 hari sekali. Proses ini bisa menghabiskan waktu hingga sebulan.
Setelah terjadi pembusukan pada sampah dalam hidrolisis tersebut, urai Darma, baru dikeluarkan untuk kemudian masuk tahap penjemuran untuk mengurangi debit air pada sampah sampai betul-betul kering sehingga benar-benar memudahkan proses penggilingan.
Setelah penggilingan, baru kemudian dilakukan pengayakan, untuk memisahkan ampas dengan sarinya atau pupuk kompos yang dihasilkan.
"Pupuk kompos yang dihasilkan kalau dari 900 kg sampah organik itu tidak banyak, hanya sekitar 200 kg, hal itu karena memang volume penyusutannya cukup tinggi," ujar Darma.
Penghijauan kota
Kabid Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 DLHK3 Banda Aceh Asnawi mengatakan pembuatan pupuk kompos selama ini dihasilkan dari pengelolaan di ITF Gampong Jawa dan juga di kawasan Ilie Banda Aceh.
Pupuk kompos tersebut selama ini tidak ada yang dikomersialkan, tetapi dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan penghijauan Ibu Kota Provinsi Aceh itu.
"Jadi pupuk kompos tersebut dimanfaatkan untuk penghijauan taman-taman kota, serta pada pepohonan atau tanaman yang ada di wilayah jalanan perkotaan di Banda Aceh," kata Asnawi.
Selama ini, pemerintah Banda Aceh tidak harus membeli lagi pupuk untuk menghijaukan kota karena memang produksi kompos lebih kurang mencapai 200 kg per hari, dan volume ini memenuhi kebutuhan.
"Pupuk tidak kami jual belikan karena memang pupuk kompos yang kita hasilkan ini terbatas, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman di kota saja," ujar Asnawi.
Hanya, dengan adanya pupuk dari ITF tersebut, minimal pemerintah tidak harus lagi mengeluarkan anggaran daerah sehingga bisa sedikit menghemat pada program penghijauan kota. Dananya bisa dialihkan untuk kebutuhan lainnya.
Baca juga: Pemkot targetkan wajib retribusi sampah 250 ribu keluarga
240 ton sampah per hari
DLHK3 Banda Aceh mencatat sampah yang dikumpulkan per hari di kota tersebut lebih kurang mencapai 24 ton per hari, baik itu organik maupun an organik. Angka tersebut hanya pada hari normal.
Namun, sampah bisa lebih tinggi saat pelaksanaan hari-hari besar Aceh, seperti datangnya tradisi meugang menyambut Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, itu bisa mencapai 250 ton per hari.
"Kalau ada hari besar seperti hari raya, sampah di pasar sudah pasti meningkat, kemudian rumah tangga juga, karena memang masyarakat lebih banyak kebutuhan," kata Asnawi.
Secara tahunan, produksi sampah pada 2022 sekitar 91 ribu ton lebih, angka tersebut sedikit menurun jika dibandingkan pada 2021 yang mencapai 142 ribu ton. Lalu, untuk 2023 ini yaitu pada Januari mencapai 7,5 ribu ton.
"Tahun 2022 itu sampah organiknya 51,131 ton dan non organik 40 ribu ton, sedangkan untuk 2023 organik 4,2 ribu, dan an organik 3,3 ribu ton," ujarnya.
Asnawi menjelaskan petugas kebersihan setiap hari bertugas mengumpulkan sampah itu dimulai pukul 06.00 WIB sampai malam dengan pembagian tiga shift.
Mereka mengumpulkan sampah dari titik lokasi mulai dari perkampungan, jalan protokol, dan pasar tradisional. Setelah itu, semuanya dibawa ke TPA Gampong Jawa untuk pembakaran dan juga dikelola menjadi pupuk kompos hingga biogas.
Sampah memang tidak semuanya dikumpulkan dan dibawa ke TPA, tetapi ada yang dikumpulkan oleh kelompok masyarakat untuk kemudian dijual guna didaur ulang.
"Setelah dikumpulkan masyarakat, nanti saat waktunya kita angkut sampah itu untuk didaur ulang, kemudian itu dicatat ke buku bank sampah, sehingga bisa menghasilkan uang bagi kelompok masyarakat tersebut," katanya.
Kemudian, di Banda Aceh saat ini juga ada masyarakat yang mengolah sampah menjadi bahan cendera mata, tergantung dari kreativitas masyarakat. Bisa diolah menjadi barang seperti dompet, tas, keranjang, dan lain sebagainya.
"Hasil karya mereka yang juga di bawah binaan kita itu, kemudian kita beli, sehingga mereka terus bersemangat mengolah sampah itu menjadi suvenir," ujarnya.
Tak hanya untuk pupuk kompos, bank sampah dan suvenir, sampah Banda Aceh yang dikumpulkan ke TPA juga dimanfaatkan menjadi bahan bakar yaitu biogas.
Sejauh ini, DLHK3 Banda Aceh sudah menyalurkan biogas dari sampah itu ke 210 keluarga di Gampong Jawa. Namun, saat ini sudah berhenti karena ada pipa yang bocor sehingga gas tidak mengalir lagi.
Kata Asnawi, biogas di TPA tersebut masih tersedia, namun perlu dilakukan perbaikan jaringan supaya gas tersebut bisa kembali dialirkan ke permukiman masyarakat.
"Insya Allah setelah APBD Banda Aceh sudah membaik, kita akan kembali usulkan pengadaan jaringan baru sehingga biogas ini bisa kembali dinikmati masyarakat," demikian Asnawi.
Baca juga: Puluhan kubik sampah kayu hanyut terbawa banjir di bibir tanggul jebol sungai Aceh Tamiang