Jakarta (ANTARA) - Sebuah video menimbulkan banyak reaksi di dunia maya pada akhir Oktober 2023. Video itu berisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpidato dalam bahasa Mandarin yang fasih. Tak heran, video itu viral.
Sejumlah pihak, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyimpulkan video itu merupakan hasil suntingan yang menyesatkan, karena aslinya adalah unggahan kanal YouTube Masyarakat Indonesia-Amerika Serikat (USINDO) pada 13 November 2015.
Video itu telah disunting sedemikian rupa dengan memanfaatkan deepfake, yang merupakan jenis kecerdasan buatan (AI) yang dapat membuat foto, audio dan video, nyaris sesuai aslinya.
Baca juga: Profesi yang akan bertahan dan berkembang dengan teknologi AI
Dalam kata lain, video Jokowi itu adalah disinformasi untuk menguatkan narasi jahat bahwa pemerintahan Presiden Jokowi dikendalikan oleh China.
Hal seperti itu terjadi di mana-mana dan biasanya muncul menjelang atau selama pemilihan umum, termasuk di India, Taiwan, Prancis, Filipina, Brazil, dan Amerika Serikat yang seperti Indonesia menggelar pemilu pada 2024.
Salah satu produk deepfake dalam Pemilu AS adalah iklan politik Partai Republik yang menarasikan skenario buruk seandainya Presiden Joe Biden terpilih lagi, mulai dari invasi China ke Taiwan, sampai gelombang imigran ke AS.
Muncul video palsu Hillary Clinton yang karena skenario buruk Biden itu menyatakan mendukung Gubernur Florida Ron DeSantis pada Pemilu 2024.
Padahal, DeSantis adalah bakal calon presiden dari Partai Republik yang nyaris mustahil didukung seorang tokoh Demokrat seperti Hillary yang mantan calon presiden pada Pemilu 2016.
Ternyata kemudian, sama dengan video Presiden Jokowi berbahasa Mandarin itu, video Hillary Clinton pun adalah hasil rekayasa deepfake.
Baca juga: Peneliti USK rehabilitasi dan monitoring terumbu karang Aceh pakai teknologi AI
Ancaman "Deepfake", pemanfaatan AI, dan Pemilu 2024
Oleh Jafar M Sidik Rabu, 3 Januari 2024 7:05 WIB