Meskipun tidak ditemukan dalam gagasan caleg, Elin masih berharap kepada siapa pun caleg yang terpilih pada tahun ini mempunyai visi dan misi untuk mendorong terlaksananya RAD untuk disabilitas agar kebijakan tersebut nantinya tidak menjadi sebuah dokumen negara yang ujung-ujungnya hanya duduk di laci meja para petinggi negara.
“Buat apa gitu kan, sedangkan kita ingin dokumen itu dibaca dan diimplementasikan sehingga pemenuhan untuk disabilitas berjalan sesuai dengan yang kita harapkan,” kata Elin.
APK Minim Gagasan, Pemilih Tidak Teredukasi
Alat peraga kampanye (APK) sebagai bentuk promosi caleg diakui oleh Ayu, salah seorang warga Kota Banda Aceh, kurang edukatif dan informatif. Dirinya tidak paham apa saja yang akan dilakukan calon legislatif (caleg) ini jika terpilih nantinya karena tidak ada informasi.
Terlebih kinerja mereka (caleg) yang sudah pernah menjabat sebagai legislatif di DPRK, DPRA, DPR RI, maupun DPD. Setidaknya harus ada informasi yang lebih menjelaskan tentang diri mereka.
Pengakuan lain datang dari Heriwanda. Mahasiswa dari salah satu kampus di Banda Aceh ini mengaku menentukan pilihan (caleg) saat pemilu nanti bukan dari pengaruh baliho maupun spanduk atau Alat Peraga Kampanye (APK) melainkan berlandaskan kedekatan lantaran sering bertemu orang tersebut.
Apalagi dari semua baliho ataupun spanduk yang ia lihat tidak ada visi misi dari para caleg. Bagi Heri, faktor kedekatan dirasa lebih mudah untuk menentukan pilihan dibanding melalui baliho atau spanduk karena sudah mengenal karakter si caleg, terutama di kalangan anak muda.
Informasi dari teman sejawat juga menjadi salah satu indikator pendukung untuk menentukan pilihan.
“Jika sudah mengenal lebih dulu sosok (caleg) yang maju lebih mudah dalam melihat karakter para peserta pemilu tersebut,” kata Heri.
Baca juga: MPU ajak semua pihak tidak euforia dengan hasil internal
Strategi Kampanye Sarat Politik Uang
Demi memperebutkan kursi kekuasaan di legislatif, para caleg di Aceh menggunakan banyak strategi yang ditujukan untuk mendulang suara dari masyarakat. Salah satunya dengan strategi sistem multi-level-marketing (MLM).
MLM merupakan strategi kampanye dengan cara merekrut anggota tim pemenangan sebanyak-banyaknya yang kemudian anggota tersebut ditugaskan untuk mengumpulkan pemilih.
Semakin banyak pemilih yang berhasil dikumpulkan, maka anggota akan mendapatkan penghargaan (reward) yang lebih besar.
Mursalin Nagaya, caleg DPRA Dapil 1-Banda Aceh, Aceh, Besar, dan Sabang dari Partai Nasdem menjadi salah satu caleg yang menggunakan strategi kampanye MLM untuk mencari suara. Hal itu dikonfirmasi saat dihubungi pada Minggu (11/12) lalu.
“Strategi mencari suara dengan sistem level marketing (MLM) berjejaring setiap orang mencari anggota sebanyak-banyaknya semakin banyak anggota semakin besar reward-nya dan setiap anggota merupakan timses,” kata Nagaya lewat pesan singkat.
Baca juga: MAA ajak semua komponen kembali bersatu usai Pemilu
Dalam selebaran formulir pendaftaran anggota Timses Sahabat Nagaya, dirinya menjanjikan setiap anggota yang memilihnya akan mendapatkan dana aspirasi dalam bentuk kelompok selama lima tahun.
Kemudian, anggota yang berhasil mengumpulkan 10 sampai dengan 100 orang pemilih akan mendapatkan bonus mulai dari tiket liburan ke Medan, tiket kapal pesiar/liburan ke tiga negara, hingga tiket umroh.
Selain itu, strategi bagi-bagi uang sebanyak Rp100 ribu per orang juga kerap digunakan oleh caleg untuk menggaet suara. Salah seorang pemilih pemula, Haris, mengungkapkan dirinya beberapa pernah ditawarkan uang sejumlah nilai tersebut asalkan memilih caleg tertentu.
“Pernah dapat tetapi dari orang lain menawarkan tidak langsung dari caleg. Diarahkan memilih caleg tertentu lalu dikasih uang Rp100 ribu,” ungkapnya.
Tawaran seperti itu tidak hanya sekali datang kepada Haris. Mahasiswa Fakultas Pertanian di Universitas Syiah Kuala itu menyampaikan mendapatkan iming-iming tersebut sebanyak dua kali.
“Beberapa ada yang mewajibkan untuk memilih dan sebagian lain tidak wajib. Tetapi harus menyerahkan nama dan NIK, baru dapat menerima uang tanpa ada syarat wajib memilih,” imbuhnya.
Menyikapi hal itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menilai bahwa caleg yang mengumbar janji tidak logis pertanda tidak punya visi dan misi sehingga segampang itu menawarkan perjalanan ke luar Aceh, ke luar negeri, sampai kepada umrah.
“Sumber anggarannya dari mana? Cawe-cawenya ini tentu mengarah ke Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA),” jelas Alfian.
Kalau dibilang ini salah satu kampanye, kata Alfian, bentuk kampanye tersebut tidak mendidik. Selain itu, kalau ditelaah secara mendalam, bonus yang diberikan kepada anggota pemilih berpotensi termasuk bagian dari politik uang (money politic).
“Tidak bisa bila disimpulkan ini reward atau penghargaan karena tidak ada istilah dalam pemilu, kecuali reward kepada penyelenggara pemilu atau misalnya ada tokoh masyarakat yang menemukan pelaku pelanggaran pemilu yang dianggap penting,” katanya.
Alfian menegaskan pernyataanya itu sesuai dengan Pasal 280 ayat 1 huruf j UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur tentang larangan bagi pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye untuk menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu.
“Berdasarkan UU Pemilu itu tergolong dalam money politic karena menjanjikan uang/materi. Kalau dibilang reward kepada tim sukses. Apakah itu termasuk tim sukses karena disebutkan tim sukses yang sudah ditentukan atau terdaftar dan itu tidak perlu lagi disebarluaskan,” kata Alfian.
Di sisi lain, penawaran uang senilai Rp100 ribu dengan tujuan agar caleg tertentu dipilih juga bagian dari politik uang berdasarkan UU Pemilu No. 7 Tahun 2017. Meskipun, dalam aturan baru Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 15 tahun 2023, caleg boleh memberikan hadiah kepada pemilih berupa barang tapi nilainya tidak lebih dari Rp 100 ribu rupiah.
“Pemberian uang itu adalah money politik walaupun dikasih cuma Rp100 ribu karena pesannya jelas. Sebelumnya, di pemilu 2019 malah batasnya Rp60 ribu. Kalau kita lihat ini aturan-aturan yang memberi peluang untuk para caleg melakukan money politik,” katanya.
Alfian berpendapat para caleg yang justru lebih memilih menawarkan iming-iming uang daripada gagasan yang dimiliki tidak punya tujuan jelas untuk menyejahterakan masyarakat.
“Karena untuk kesejahteraan umat manusia, bukan soal bantuan uang yang diperlukan. Tetapi, bagaimana proses pengembangan ide/program yang harus dijalankan ke depan,” katanya.
Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaboratif yang dilakukan oleh Nurul Hasanah (Antaranews Aceh); Ulfah (KBA.One); Indra Wijaya (Serambinews.com); dan Haris Al Qausar (Digdata.id) yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Aceh. Isi konten dan konsekuensi bukan merupakan tanggung jawab redaksi
Baca juga: KIP Aceh Besar pastikan proses penghitungan suara KPPS tuntas
Fenomena Pemilu di Aceh: Gagasan Caleg Klise, Strategi Kampanye Tak Edukatif
Oleh Nurul Hasanah Jumat, 16 Februari 2024 15:56 WIB