Banda Aceh (ANTARA) - Majelis hakim banding Pengadilan Tinggi Banda Aceh memperberat hukuman terdakwa Hariadi, mantan Direktur Utama Rumah Sakit (Dirut RS) Arun, Kota Lhokseumawe, dalam perkara tindak pidana korupsi pengelolaan rumah sakit tersebut.
"Majelis hakim banding memperberat hukuman terdakwa dari enam tahun menjadi delapan tahun penjara," kata Humas Pengadilan Tinggi Banda Aceh Taqwaddin di Banda Aceh, Senin.
Ia mengatakan putusan banding tersebut dibacakan majelis hakim banding diketuai Makaroda Hafat serta didampingi Supriadi dan Taqwaddin masing-masing sebagai hakim anggota.
Baca juga: Majelis hakim vonis mantan Direktur RS Arun enam tahun penjara
Selain pidana penjara, majelis hakim juga menghukum terdakwa Hariadi membayar denda Rp400 juta dengan ketentuan apabila tidak membayar diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Majelis hakim banding juga menghukum terdakwa Hariadi dengan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp16,86 miliar. Uang pengganti tersebut harus dibayarkan satu bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap.
"Jika terdakwa tidak membayar, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti kerugian negara tersebut. Apabila tidak harta yang mencukupi, maka dipidana selama dua tahun penjara," kata Taqwaddin.
Taqwaddin menyebutkan putusan majelis hakim banding tersebut membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh tertanggal 29 Januari 2024.
Baca juga: Kejati Aceh: JPU perkara korupsi RS Arun Lhokseumawe ajukan banding
Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh menghukum terdakwa Hariadi dengan pidana penjara selama enam tahun dan denda Rp300 juta subsidair enam bulan penjara. Terdakwa tidak dibebankan membayar uang pengganti kerugian negara.
Pada fakta persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh menyebutkan terdakwa Hariadi bersama Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya yang didakwa secara terpisah mengalihkan pengelolaan RS Arun ke swasta rentang waktu 2016-2022.
Padahal, rumah sakit tersebut merupakan aset Pemerintah Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Seharusnya pengelolaan rumah sakit aset pemerintah daerah tersebut dilakukan dengan membentuk unit pelaksana teknis daerah atau UPTD.
Namun, terdakwa Hariadi bersama Suaidi Yahya selaku Wali Kota Lhokseumawe membentuk perusahaan lainnya. Rumah sakit tersebut merupakan hibah dari perusahaan minyak dan gas (migas) PT Arun.
Baca juga: Korupsi RS Arun Lhokseumawe, Suaidi Yahya divonis enam tahun penjara
Hukuman mantan Dirut RS Arun Lhokseumawe diperberat jadi delapan tahun penjara
Senin, 1 April 2024 14:09 WIB