Kutacane (Antaranews Aceh) - Petani karet di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, kian terpuruk, usai tanaman penghasil getah tersebut tertutup abu vulkanik Gunung Sinabung karena harga jual kembali merosot di titik terendah.
"Harga getah di tingkat petani hari ini cuma sekitar Rp4.500 hingga Rp5 ribu per kilogram," kata Jafar Selian (57), petani karet di Kecamatan Badar, Aceh Tenggara, Senin.
Padahal pihaknya baru kembali menyadap getah pohon karet dalam tiga hari terakhir, usai tertutup debu vulkanik akibat erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Senin, (19/2).
Awal Februari tahun ini, harga getah karet paling tinggi di tingkat petani seharga Rp6.000 per kilogram.
Rendahnya harga jual getah tingkat petani tersebut, pernah terjadi seperti di tahun 2014. Petani karet setempat, dia mengakui, ingin segera mengganti dengan jenis tanaman lain dan lebih menguntungkan.
Harga di beli oleh para tengkulak atau pedangang pengumpul, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pokok yang setiap tahun terus melambung.
"Kalau cuma Rp4.500 pet kilogram, kami harus lebih ekstra berhemat lagi agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari," terangnya.
Dedi Selian (35), penduduk di Kecamatan Darul Hasanah, Aceh Tenggara mengatakan, pemerintah daerah seperti tuli dan bisu dalam menghadapi anjloknya harga komoditas karet dalam lima tahun terakhir.
"Selama ini petani, tak bisa berbuat banyak. Apalagi harga getah terus turun, bahkan berada di titik tak wajar. Pemerintah cuma diam membisu," kata dia.
Ia mengaku, pihaknya dalam waktu dekat berencana menganti tanaman karet tersebut dengan tanaman pangan jenis jagung akibat tidak tercukupi kebutuhan keluarga.
"Jika jagung kita tanam, maka satu hektare bisa menghasilkan delapan ton. Harga jagung saat ini Rp3.200 per kilogram, maka saya bisa kantongi Rp25,6 juta untuk satu kali panen selama empat bulan," kata Dedi.
Amri Selian, tauke getah setempat mengatakan, petani komoditas karet di Aceh Tenggara telah lama menginginkan kenaikan harga yang wajar mencapai Rp8.500 per kilogram dan cenderung naik.
"Kita tidak bisa karena harus ikuti harga pasaran. Belum lagi wilayah Aceh Tenggara ini, membutuhkan waktu yang lama sekitar enam hingga tujuh jam ke pabrik pengolahan, akibat dikelilingi oleh pegunungan," katanya