Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan tiga catatan atas pemeriksaan indikasi pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri saat menggunakan helikopter dalam perjalanannya di Sumatera Selatan.
"Pertama, proses pemeriksaan harus menjunjung tinggi transparansi serta akuntabilitas kepada masyarakat," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu.
Hal itu, lanjut dia, penting untuk ditegaskan sebab Pasal 5 Undang-Undang KPK telah menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada nilai keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan umum.
"Terlebih lagi, Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2020 menyebutkan bahwa Dewas KPK dalam melaksanakan pemeriksaan dan persidangan, berasaskan nilai akuntabilitas, dan kepentingan umum. Ihwal pertanggungjawaban kepada publik juga ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UU KPK," tuturnya.
Oleh karena itu, ia menilai Dewas KPK dilarang menutup diri atas proses dan hasil pemeriksaan terhadap Firli Bahuri.
Kedua, ICW menyatakan model pembuktian yang dilakukan oleh Dewas KPK diharapkan tidak hanya mengandalkan pada pengakuan dari terperiksa saja.
Dalam konteks tersebut, materi pemeriksaan sudah barang tentu akan menyoal penggunaan moda transportasi mewah yang digunakan oleh Firli.
"Untuk itu, Dewas KPK mesti terus menggali jika pengakuan terperiksa menyebutkan bahwa penggunaan transportasi itu berasal dari uang pribadi atau gaji maka pertanyaan lebih lanjutnya adalah metode pembayaran apa yang digunakan? Apa melalui pembayaran tunai atau menggunakan jasa perbankan?," ungkap Kurnia.
Kemudian perihal bukti, ia menuturkan semestinya terperiksa harus bisa memperlihatkan bukti pembayaran otentik kepada majelis pemeriksa agar Dewas KPK bisa mendapatkan kebenaran material atas proses pemeriksaan ini.
Ketiga, Dewas KPK perlu melibatkan Kedeputian Penindakan dalam memeriksa dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK.
"Hal ini penting, setidaknya untuk melihat lebih jauh, apakah ada potensi penerimaan gratifikasi dari pihak tertentu. Ketika nantinya ditemukan bukti permulaan yang cukup akan penerimaan gratifikasi dalam bentuk transportasi mewah maka pemeriksaan etik tersebut dapat dilanjutkan dengan tindakan penyelidikan bahkan penyidikan," ujar Kurnia.
Ia mengatakan Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dapat digunakan sebagai dasar untuk memproses setiap penyelenggara negara yang menerima gratifikasi dari pihak tertentu, yang mana ancaman hukumannya mencapai 20 tahun penjara.
Sebelumnya, Dewas KPK telah menggelar sidang etik terhadap Firli secara tertutup di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi atau Gedung KPK lama, Jakarta, Selasa (25/8).
Sidang tersebut digelar atas aduan dari Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) ke Dewas KPK mengenai penggunaan helikopter mewah oleh Firli saat perjalanannya dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan, Sabtu (20/6).
MAKI menilai perbuatan Firli tersebut bertentangan dengan kode etik pimpinan KPK yang dilarang bergaya hidup mewah.
Dewas KPK akan melanjutkan kembali sidang etik Firli pada Senin (31/8) karena dari enam saksi yang dipanggil baru dua saksi yang memberikan kesaksian. Selain itu, Firli sebagai terperiksa juga akan hadir kembali pada sidang pekan depan.