Jakarta (ANTARA) - Wabah virus corona telah menyebabkan proses belajar-mengajar bagi peserta didik di semua jenjang pendidikan di Indonesia berubah drastis.
Proses pendidikan yang identik dengan pertemuan tatap muka di sekolah kini menjadi belajar dari rumah. Siswa atau murid dan guru berada di rumah masing-masing.
Sekolah-sekolah di Jakarta menjalani perubahan drastis itu mulai pertengahan Maret 2020 ketika wabah dinyatakan mulai merebak pada 2 Maret. Langkah serupa diikuti sekolah lain di sekitar ibu kota.
Dengan istilah "pembelajaran jarak jauh" (PJJ) transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid telah dilakukan selama 10 bulan terakhir. Perantaranya adalah telepon genggam dan komputer jinjing (laptop).
Selama kurun waktu tersebut, tugas-tugas dan ujian dilakukan dalam jaringan (daring) atau "online". Kemudian pembagian rapor, kenaikan kelas, kelulusan serta pendaftaran murid baru dilakukan secara daring.
Banyak kendala yang harus dihadapi oleh guru, murid maupun orang tua. Tetapi semua itu harus dihadapi karena situasi wabah virus corona (COVID-19) memaksa keterpaksaan menjadi kebiasaan.
Yang penting proses belajar-mengajar tetap harus terlaksana sesuai muatan kurikulum karena menunggu situasi kembali normal penuh ketidakpastian. Wabah ini memaksa semua pihak yang terkait dunia pendidikan menyiasati situasi sambil terus bersabar menunggu keadaan pulih.
Jenuh
Kini---setelah 10 bulan--menjalani kenyataan yang memaksa untuk belajar secara "online", kerinduan mendalam terhadap belajar tatap muka langsung di sekolah dirasakan murid, guru dan kalangan orang tua. Kejenuhan melanda mereka tetapi tak berdaya untuk keluar dari situasi itu.
Selain jenuh, PJJ juga dinilai tidak maksimal untuk menyerap materi pelajaran. Hal itu sesuai hasil survei Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) DKI Jakarta bahwa sebagian besar para siswa di Jakarta menginginkan kembali pembelajaran tatap muka karena PJJ atau daring kurang maksimal.
Alasan lain para siswa ingin masuk sekolah karena mereka ingin mengenal teman-temannya di sekolah. Mereka telah beberapa bulan bersekolah lewat daring, tetapi tidak pernah mengenal teman-temannya.
Mereka juga ingin mengenal guru, pegawai dan lingkungan sekolah sekolah. Yang pasti mereka ingin dekat dengan teman-temannya; dari bercanda, berlarian, bernyanyi dan akhirnya jajan bersama ke kantin.
Semula, mereka berharap awal Tahun Ajaran Baru 2020/2021 pada Juli lalu sekolah tatap muka di sekolah sudah bisa terlaksana. Tetapi harapan itu tak terwujud karena kasus baru korban COVID-19 terus meningkat setiap hari.
Akhirnya niat dan harapan itu tak bisa diwujudkan. Semua diliputi kekhawatiran akan munculnya klaster baru dari sekolahan sehingga--mau tidak mau--harus diurungkan.
Harapan baru terwujudnya pembelajaran tatap muka di sekolah muncul lagi pada awal tahun 2021. Ini juga masih simpang siur dan diwarnai ketidakpastian.
Ketidakpastian
Lagi-lagi COVID-19 penyebabnya. Apalagi publik menyaksikan bahwa mengakhiri tahun 2020 dan memasuki Tahun Baru 2021, angka harian pasien justru melejit dengan rekor-rekor baru.
Hal itu menyebabkan ketidakpastian pada wacana dan rencana belajar di sekolah. Akhirnya tetap harus bersabar dan bersabar lagi.
Banyak sekolah di Jabodetabek yang memulai kembali sekolah pada Senin, 11 Januari 2021 setelah libur pembagian rapot pada pertengahan Desember 2020. Sekolah "online" masih menjadi pilihan untuk dijalani.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, secara tegas menyatakan tetap memberlakukan belajar dari rumah untuk seluruh sekolah di Ibu Kota pada semester genap Tahun Ajaran (TA) 2020/2021. Meski demikian, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terus melakukan persiapan pelaksanaan pembelajaran tatap muka.
Di luar Jakarta dan sekitarnya, ternyata ada 14 provinsi yang menyatakan siap melakukan pembelajaran tatap muka penuh. Ada provinsi yang melaksanakan pembelajaran tatap muka tidak penuh (campuran).
Yang penuh, yakni Jawa Barat, DI Yogyakarta, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Sulawesi Utara. Selanjutnya Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Sulawesi Barat dan Maluku Utara.
Sedangkan yang menerapkan pola pembelajaran campuran, yakni Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Di luar provinsi-provinsi itu pembelajaran sepenuhnya masih secara daring.
Kebijakan daerah
Mengapa setiap daerah bisa berbeda-beda dalam menentukan kebijakan terkait pembelajaran di tengah pagebluk ini?
Dilihat aturannya secara nasional, tidak daerah memang bisa mengambi kebijakan yang berbeda dengan daerah lainnya. Hal itu disesuaikan dengan perkembangan wabah di daerah dan kesiapan menerapkan protokol kesehatan di sekolah.
Dasarnya adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi COVID-19 sudah tepat.
SKB empat menteri itu memberikan kewenangan pada daerah terkait pembelajaran. Daerah yang paling tahu bagaimana kondisi COVID-19 di daerah masing-masing.
Bisa jadi pembukaan sekolah di daerah tidak dilakukan secara serentak, namun memprioritaskan pada wilayah yang aman. Pembukaan sekolah pun harus dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
SKB empat menteri itu membolehkan, bukan mewajibkan pembelajaran tatap muka. Jadi sekolah tatap muka di sekolahan bukan kewajiban atau keharusan.
Kini orang tua punya pilihan (opsi) mengizinkan atau tidak anaknya untuk bersekolah. Jika orang tua tidak ingin anaknya melakukan pembelajaran tatap muka, anak tersebut melakukan pembelajaran secara daring.
Sekolah memiliki kewajiban untuk tetap melayani siswa yang melakukan pembelajaran dari rumah. Sekali lagi, kebijakan pembelajaran di sekolah itu adalah pilihan, bukan kewajiban.
Artinya, kalau orang tua tidak mengizinkan anaknya sekolah tatap muka, maka pilihannya adalah sekolah tatap layar.
Sekolah tatap muka atau tatap layar?
Minggu, 10 Januari 2021 13:19 WIB