Lelang Batu Giok Aceh. Warga memilih Batu Giok Aceh jenis Neprit (Aceh Nephrite Jade) asal Beutong Nagan Raya yang dilelang pedagang di Kota Lhokseumawe, Aceh, Minggu (4/1). Sejumlah penggemar batu datang ke tempat tersebut untuk mmembeli batu jenis giok yang dijual relatif murah. (ANTARA FOTO/Rahmad)
Banda Aceh (Antaraaceh) - Tidak seperti biasanya, kawasan ujung Jalan Panglima Polem, Peunayong Kota Banda Aceh sejak tiga pekan terakhir pada malam hingga dini hari mendadak ramai, menyusul munculnya pedagang kaget yang menjajakan aneka jenis batu mulia.
Aneka jenis batu yang banyak didagangkan masyarakat di kawasan Peunayong itu antara lain adalah giok, cempaka madu, kecubung teh, hijau, dan solar madu, baik dalam bentuk bongkahan (bahan) maupun wujud batu cincin.
Harganya juga bervariasi, kisaran Rp50 ribu sampai jutaan atau tergantung jenis dan beratnya. Batu-batu itu merupakan hasil tambang rakyat dari sejumlah daerah seperti asal Aceh Jaya, Nagan Raya, dan Aceh Tengah.
Selain itu, di Jalan Panglima Polem tersebut juga diperdagangkan batu mulai yang saat ini sedang diburu dengan harganya di atas Rp2 juta dalam bentuk mata cincin, dengan ukuran kecil yakni batu kelas Idocrase atau bio solar yang ditemukan di Nagan Raya, Aceh.
Untuk jenis Idocrase atau bio solar Nagan Raya, menurut pemburu batu mulia Aceh Hendro, sudah susah diperoleh dalam bentuk bahan. Jika pun ada, harganya melangit terkadang puluhan juta untuk satu kilogram.
Para pedagang musiman itu menggelar dagangannya di kaki lima atau emperan toko, dan ada juga di atas mobil pick up dengan mengandalkan lampu penerangan jalan di kawasan tersebut. Sepanjang jalan tersebut diperkirakan lebih 50 pedagang musiman yang mangkal menjajakan batu.
M Jafar, pedagang menjelaskan mereka menggelar dagangannya terkadang sampai dini hari di karenakan banyak pembeli di kawasan tersebut. "Pokoknya, sampai pukul 01.00 WIB, masih ada pembeli, tidak hanya warga lokal tapi juga pendatang," katanya.
Padatnya pembeli telah mengakibatkan ruas jalan Panglima Polem Peunayong itu macet, tidak seperti biasanya hanya mangkal beberapa pedagang kuliner.
Demam batu cincin di Aceh dalam setahun terakhir juga ditandai ramainya warga yang membuka usaha jasa pengasah batu, dan hampir setiap sudut desa terdapat usaha tersebut.
Tampaknya kini tidak lagi mengenal waktu, apakah siang, sore, pagi atau malam hari. Bahkan, desingan suara mesin pembelah batu itu terkadang terus berputar hingga larut malam, bersamaan sebagian besar warga mulai tertidur.
Bahkan lima tahun lalu, bisnis jasa asah batu cincin seperti di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar masih bisa dihitung jari atau tiga hingga empat usaha yang digeluti masyarakat di daerah tersebut.
tapi kini, usaha jasa asah batu cincin itu tumbuh subur ibarat jamur dimusim hujan seiring demamnya batu giok yang ditemukan di pedalaman Aceh seperti di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah.
Aceh "demam" batu cincin. Seakan-akan, ukuran laki-laki di Aceh saat ini bisa dikatakan "jantan" jika di tangannya dihiasi cincin aneka jenis yang merupakan batuan dari dalam perut bumi, sumberdaya alam di provinsi itu.
Usaha penjualan dan jasa asah batu cincin itu tidak pernah sepi, bahkan hingga larut malam tetap saja dikunjungi warga, termasuk juga wisatawan yang sedang melancong ke kota berjuluk Serambi Mekah itu.
Sebagian besar jasa usaha itu menerima order asah bahan baku dari masyarakat. Untuk mengasah satu batu cincin diperlukan waktu satu hingga dua minggu baru bisa diselesaikan karena ordernya yang cukup banyak.
"Maaf, saya bisa menyelesaikan batu cincin itu tiga minggu kedepan, sebab bahan yang harus kami selesaikan masih cukup banyak," kata Amiruddin, usaha jasa asah batu cincin di Banda Aceh.
Bahkan, tidak sedikit warga yang meninggalkan usaha yang digelutinya berpuluh tahun itu kini beralih menjadi jasa asah atau penjualan batu cincin.
Syamsuddin, mengatakan usaha jasa asah dan penjualan batu cincin mulai digelutinya sejak satu tahun lalu. Sebelumnya, ia adalah salah satu perajin emas perhiasan di Pasar Atjeh Kota Banda Aceh.
"Saya melihat usaha asah batu dan penjualan batu cincin terutama bahan baku asal Aceh itu memiliki prospek cerah dimasa mendatang. Karenanya, saya meninggalkan usaha sebelumnya sebagai perajin emas perhiasan," katanya menjelaskan.
Syamsuddin mengaku modal untuk mendirikan usaha jasa asah batu tidak terlalu besar atau minimal Rp50 juta guna membeli tiga buah mesin, termasuk mesin pemotong batu. Namun, yang paling penting adalah adanya tenaga terampil untuk momotong dan mengasah batu.
"Kalau untuk memotong dan mengasah batu itu harus benar-benar tenaga terampil, tidak bisa semberangan sebab berisiko rusaknya orderan yang merupakan bahan batu untuk pembuatan batu cincin," katanya menambahkan.
Apalagi, kata dia, untuk memotong atau mengasah batu giok Nagan Raya tidak bisa dilakukan sembarang orang, karena jika salah-salah maka tidak ada satu pun yang bisa dijadikan batu cincin seperti yang dikehendaki oleh pengorder.
Deddy, salah satu pemilik jasa asah batu cincin di kawasan Gampong Lampoh Daya Kota Banda Aceh juga menyatakan nyaris tidak mampu menerima order, meski terkadang anak buahnya harus kerja lembur hingga malam hari.
Ongkos asah batu yakni dari Rp30 hingga Rp40 ribu/mata cincin dengan berbagai ukuran yang dikehendaki oleh masing-masing pengorder.
Melambungnya harga idocrase bio solar Aceh itu setelah menyabet hadiah utama dalam lomba batu mulia atau "Indonesian Gemstone" di Jakarta pada September 2014. Batu jenis itu meraih juara pertama kategori idocrase solar.
Selain jenis bio solar, batu lumut Aceh memang menjadi varian yang lain yang menanjak di dunia perbatuan di Tanah Air pada beberapa tahun terakhir.
Ketua Pusat Promosi Batu Mulia Indonesia yang juga seorang geologist dan gemmologist, H Sujatmiko menyebutkan bahwa di Indonesia, hanya daerah Aceh yang memiliki batu mulia giok jenis nephrite jade.
Dua daerah di Aceh yang menyimpan batu mulia nephrite jade adalah Nagan Raya dan Sungai Lumut, Aceh Tengah dan Gayo Lues.
Terindah Di Dunia
Giok Aceh merupakan batu terindah di dunia. dan dalam kurun waktu 20 tahun ke depan akan terus dicari sehingga harganya masih tetap tinggi.
AB Hamdi, pengusaha batu mulia di pusat batu mulia Rawabening, Jakarta, giok Aceh mempunyai ciri khas, jika dipegang terasa dingin, berbeda dengan batu mulia dari Garut dan batu Bacan yang tidak dingin tapi memiliki kelebihan warna yang indah.
Batu mulia asal Aceh seperti giok Aceh dan lumut Aceh atau idocrase saat ini mulai dilirik dan menjadi incaran serta harganya juga cukup tinggi.
Sementara itu, Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen TNI Agus Kriswanto mengajak masyarakat Aceh untuk mempertahankan nilai dan kualitas batu giok khas daerah setempat yang telah diakui dunia.
"Kualitas dan mutu batu giok Aceh yang sudah mendunia ini harus benar-benar dipertahankan," katanya saat meninjau anjungan koleksi batu mulia pada pesta rakyat Hari Juang Kartika ke-69 dan HUT ke-58 Kodam Iskandar Muda di Banda Aceh, belum lama ini.
Selama ini ada pihak asing yang mencoba memanfaatkan momen ini untuk menyelundupkan batu mulia khas Nagan Raya tersebut ke luar Aceh, katanya menegaskan.
Seorang pemburu batu alam di pedalaman hutan Kabupaten Nagan Raya, Hasan Sani (48) mengatakan, di kawasan pegunungan dan hutan daerahnya sering ditemukan dua jenis batu idocrase dan solar dengan kualitas berbeda.
Itu menceritakan, kisah awal warga mulai berburu batu giok itu saat beberapa masyarakat pedalaman Kabupaten Nagan Raya berhasil menemukan bongkahan bebatuan berwarna kehijaun dengan berat 8,7 ton, kemudian batu tersebut dibeli dengan uang tunai oleh seorang pengusaha berdarah Tiongkok seharga Rp8 miliar.
"Mula-mula saya sedikitpun tidak tertarik, karena kejadian tersebut siapa yang tidak mau mencoba, apalagi batu alam itu sudah ada hanya tergantung keberuntungan siapa yang mencarinya," katanya.
Untuk mendapatkan batu tersebut para pemburu harus berjalan kaki selama dua hari di dalam hutan setelah melewati 10-15 kilometer kawasan permukiman penduduk Kecamatan Beutong, Nagan Raya.
Hasan Sani memberanikan diri menaiki pegunungan dan membelah balantara hutan Beutong untuk mencari keberadaan batu metamorfosis. Usahanya tidak sia-sia karena sudah memiliki 32 orang anggota membantu melakukan pengambilan batu tersebut menggunakan alat tradisional.
"Beda dengan mencari batu alam di kaki gunung, mereka mungkin menggunakan metode tambang dengan menggali, tapi kalau pencarian di kawasan tengah hutan itu tidak lagi, karena batu-batu yang kita cari menempel di pohon tua atau atas tanah gunung," sebutnya.
Di dalam hutan belantara, batu yang beragam corak warna ditemukan di atas permukaan tanah tanpa harus melakukan penambangan ataupun penggalian, biasanya batu alam berwarna kehijauan terdapat pada himpitan kayu ataupun menempel pada dinding gua serta bebatuan berukuran besar.
Ada beberapa titik lokasi dalam hutan Nagan Raya yang sudah dikenal banyak orang terdapat batu giok dalam pegunungan seperti Alu Batee Meujunte, Alu Raheung, Alu Guha Ilehan, Alu Lampoh Geulidek dan Gunong Panca Leuho.
Pegunungan tersebut dikenal memiliki ketinggian menjulang sehingga pemandangannya dapat memantau sebagian wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Nagan Raya dari lima arah sisi berbeda.
Para pencari batu alam ini harus tidur di dalam gua demi keamanan, mereka harus tinggal di dalam hutan sampai berbulan-bulan, dan hasil yang didapatnya dibawa pulang dengan menekuknya dipundak.
Biasanya setiap orang hanya mampu membawa pulang 10-15 kilogram batu dengan cara melangsirnya. Di lokasi tertentu dengan jarak tempuh 100 kilometer di dalam hutan akan ada kelompok lain yang membawa turun ke kaki pegunungan.
Dia menyatakan, persoalan harga batu alam yang dihasilkan para pemburu bervariasi mulai dari Rp100 ribu sampai bernilai jutaan rupiah per kilogram, tergantung kepada jenis dan kualitas yang dilihat para pembeli.
Demamnya batu alam di Aceh telah membawa berkah bagi setiap orang mulai dari pemburu di hutan belantara sampai dengan perajin di pusat-pusat kota hingga ke desa-desa.
Demam Batu Mulia Landa Serambi Mekah
Kamis, 22 Januari 2015 11:59 WIB