Jakarta (ANTARA) - Dari tahun ke tahun, konsep busana berkelanjutan atau ramah lingkungan (sustainable fashion) terus digaungkan oleh para desainer dan brand di seluruh dunia guna membangun kesadaran pada konsumen mengenai pentingnya menjaga keseimbangan alam.
Desainer sekaligus Ketua Nasional Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma berpendapat bahwa konsep sustainability memang sudah seharusnya diaplikasikan di dalam industri fesyen, bukan hanya sekadar musiman.
Terlebih, ia khawatir industri fesyen di Indonesia terus-menerus mengulang kesalahan brand internasional yang menerapkan konsep fast fashion yang berkembang pada awal 2000-an.
Tren fast fashion, kata Ali, memicu orang-orang konsumsi fesyen secara berlebihan dan cenderung tidak menaruh rasa penghargaan pada pakaian sebab harganya pun menjadi semakin kompetitif dan murah.
“Akhirnya pakaian itu gampang ditinggalkan dan tidak dimanfaatkan, ujung-ujungnya adalah mencemari lingkungan,” tutur Ali kepada ANTARA.
Meski konsep sustainable fashion bukan sesuatu yang bersifat musiman, biasanya setiap periode waktu tertentu muncul tren keberlanjutan yang menarik jika disimak, terlebih menjadi penanda atau ciri khas pada periode tersebut.
Berikut empat tren sustainable fashion sepanjang tahun 2021 menurut desainer Ali Charisma.
1. Loungewear atau pakaian yang nyaman dipakai di dalam dan luar rumah
Sejak pandemi 2020 hingga tahun ini, popularitas outfit loungewear tetap meningkat. Outfit bergaya fleksibel ini menjadi andalan orang-orang yang lebih banyak bekerja dari rumah tetapi tetap terasa nyaman apabila dikenakan di luar rumah.
“Di tahun 2021, baju yang bisa dipakai di dalam dan di luar rumah itu memang minatnya sangat besar sekali,” tutur Ali.
Dengan desain dan potongan sederhana serta sentuhan warna-warna netral atau pastel, atasan dan bawahan loungewear lebih mudah dipadupadankan.
Terlebih apabila pakaian loungewear menggunakan serat kain alami dan ramah lingkungan yang nyaman digunakan, seperti rayon dan stretch cotton.
2. Warna-warna sendu dan alam
Suasana pandemi yang muram dan sedih juga terekspresi pada warna-warna yang muncul dalam produk fesyen tahun ini. Warna-warna yang terkesan lembut, seperti netral dan pastel banyak digunakan pada tahun ini.
“Masih banyak orang yang agak sedih, auranya bisa terekspresif. Mungkin banyak yang kehilangan saudara atau teman, itu sangat mempengaruhi di fesyen dan mempengaruhi dengan gaya atau cara berpakaian yang lebih sederhana,” ujar Ali.
Menurut Ali, suasana pandemi 2021 juga banyak orang-orang yang lebih menunjukkan sikap merunduk dan mengedepankan sikap berbagi atau down to earth. Orang-orang seperti ini output pakaiannya cenderung tidak berlebihan serta menggunakan warna-warna alam yang tenang dan kalem.
3. Kain wastra
“Penggunaan kain wastra juga cenderung banyak diminati,” tutur Ali.
Kata “wastra” sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya merujuk pada bahan sandang. Kini penggunaan kata “wastra” lebih identik kepada kain-kain tradisional khas nusantara.
Kain wastra yang umum dikenal seperti batik, songket, tenun, ulos, dan sebagainya. Setiap daerah di pulau Indonesia, memiliki ciri khas wastranya masing-masing.
Pada tahun ini, menurut Ali, banyak orang yang semakin tertarik terhadap kain wastra. Kain ini selaras dengan konsep sustainable sebab biasanya dibuat secara manual oleh para perajin dengan menggunakan bahan dari alam dan teknik pewarnaan alami.
4. Merek lokal semakin diminati
Kini banyak merek-merek lokal dengan konsep sustainable yang semakin diminati banyak konsumen Indonesia, seperti Sejauh Mata Memandang, Imaji Studio, dan Pijak Bumi. Ketiganya hanyalah sedikit contoh brand lokal yang sangat memberi perhatian pada konsep berkelanjutan.
Dalam hal bahan misalnya, Sejauh Mata Memandang menggunakan bahan katun, linen, Tencel, serta bahan daur ulang. Merek ini juga tidak menggunakan kulit atau bulu dalam produknya, tujuannya untuk melindungi hewan.
Poin plus pada merek lokal berkelanjutan tidak hanya terletak pada penggunaan bahan saja. Ali berpendapat bahwa para desainer dan brand yang tidak melakukan produksi berlebihan (overproduce), sebetulnya juga bisa disebut sebagai pengusung sustainability.