Meulaboh (ANTARA Aceh) - Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Provinsi Aceh Helvizar Ibrahim menyatakan dana desa boleh digunakan untuk membangun kantor desa maupun kenderaan operasional.
"Dalam aturan mainnya tidak ada hitam diatas putih bahwa itu tidak boleh, artinya ada celah untuk itu sepanjang ada ketentuan, dan prasarana utama yaitu infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat telah terpenuhi," katanya di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Rabu.
Ia menyatakan hal itu untuk meluruskan pemahaman keliru masyarakat dan aparatur desa terkait penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk pembangunan kantor desa maupun kendaraan operasional.
Dia menjelaskan, memang ada pelarangan penggunaan dana desa bersumber APBN untuk pembangunan infrastuktur seperti kantor geuchik (Kades) ataupun kendaraan operasional desa sebagaimana termuat dalam Permendes Nomor 21 Tahun 2015 tentang penetapan prioritas penggunaan dana desa.
Kemudian lahir Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terakhir yang membenarkan pengunaan dana desa untuk hal mendesak dengan persyaratan diterbitkan aturan lokal yang dituangkan dalam peraturan bupati/Wali Kota berdasarkan usulan hasil musyawarah rencana pembangunan, terhadap desa yang sangat membutuhkan.
Selain itu sebut Helvizar Ibrahim, masih ada peluang lain dari dana desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/kabupaten/kota, dengan demikian tidak ada pantangan bagi desa yang ingin membangun infrastruktur dikehendaki.
"Mungkin yang perlu dipahami, sumber dana desa itu ada dua, pertama dari APBN, kedua dari bantuan daerah. Kalaupun ada yang sudah menggunakan dana desa membangun kantor desa atau membeli sepeda motor, saya pastikan itu dari dana daerah, silakan saja itu tidak masalah," tegasnya.
Lebih lanjut Helvizar Ibrahim menjelaskan Provinsi Aceh mendapat jatah alokasi dana desa dari APBN senilai Rp3,8 triliun pada 2016 yang diperuntukan bagi 6.474 desa, 289 kecamatan dalam 23 kabupaten/kota.
Dia merincikan, dari total dana itu masing-masing desa diperkirakan mendapat jatah minimal Rp600 juta dan maksimal Rp900 juta, sementara bila ditotal dengan bantuan shering daerah untuk setiap desa harusnya mengelola Rp1,2 miliar-Rp1,4 miliar.
Kata Helvizar, saat ini proses transfer dana desa tahap pertama harusnya sudah tuntas 100 persen, akan tetapi karena ada perubahan aturan secara nasional akhirnya terkendala sehingga kabupate/kota di Aceh banyak yang belum menyelesaikan administrasi untuk penarikan.
"Sebenarnya kita tidak ada kendala, cuma karena ada perubahan tahap pencairan secara nasional, jadinya terhambat. Tahun 2015 itukan tiga tahapan, kemudian dirubah agar lebih efektif menjadi dua tahap pada 2016. Karena itu kabupaten/kota terpaksa merubah dokumen dan rumus yang sudah disusun," katanya menambahkan.