Umrah di Mekkah harus mengenakan ikhram, mikot, lalu, sesuai dengan rukunnya, tawaf, sa'i dan tahalul. Lalu, di masjid Quba, hanya shalat sunnah mendapat pahala setara dengan berumrah. Dengan catatan, mengambil wudhu dari rumah (hotel).
Al Ikhlas
Di Masjid Quba, penulis mendapat pelajaran berharga mengenai Surat Al Ikhlas. Hal ini sungguh sebuah peneguhan bahwa membaca surat ini saat shalat lima waktu dan sunnah, dapat dibenarkan.
Imam masjid Quba selalu membaca Surat Al-Ikhlas ketika bertindak sebagai imam. Maka, boleh jadi kalau ada orang Muslim sering membaca Surat Al-Ikhlas dalam shalatnya ia dijuluki sebagai pengikut imam Quba.
Surat Al-Ikhlas punya kisah menarik. Pada 15 abad silam, Nabi Muhammad Saw menunjuk seseorang menjadi imam tetap (Anshar) untuk Masjid Quba.
Imam ini selalu membaca Surat Al-Ikhlas di setiap shalatnya. Melulu surat itu yang dibaca, jamaahnya protes. Imam masjid ini kemudian menyatakan akan mundur jika jamaahnya memaksa dia untuk meninggalkan bacaan Surat Al-Ikhlas.
Dijawab seperti itu, jamaah terdiam, patuh karena mencintai imam masjid ini dan mempercayainya. Tapi, ada jamaah mengadukan imam ini kepada Rasulullah SAW dengan dalih ibadah yang berbeda dan tidak dicontohkan oleh Rasul SAW, atau yang saat ini ramai dibilang "bid'ah".
Baca juga: Menag sebut Indonesia prioritas dapat tambahan kuota jamaah haji
Lantas, Rasulullah SAW memanggil imam masjid itu. Ia ditanyai kenapa selalu membaca Surat Al-Ikhlas di setiap shalatnya, sedangkan jamaah memprotesnya karena tidak sama dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Apa jawaban imam itu. Dia selalu membaca Surat Al-Ikhlas dalam shalatnya tak bermaksud apa-apa, melainkan hanya tidak ingin berpisah dari salah satu kalimat di dalam surat itu yang berbunyi "Qull huwallahu ahad", yang artinya "Katakanlah : Dia-lah Allah yang Maha Esa".
Dan Rasulullah SAW yang bijaksana tidak memarahi atau menyalahkan imam ini, padahal imam ini beribadah berbeda karena selalu membaca Surat Al-Ikhlas, bahkan Rasul SAW bersabda, "Cintanya kepada Surat Al Ikhlas membuatnya masuk ke dalam surga-Nya Allah".
Beruntung penulis memiliki sejumlah litaratur terkait Surat Al-Ikhlas. Achmad Chodjim, penulis buku Surat Al-Ikhlas - buku yang dibeli pada 2007.
Baca juga: Sabang upayakan revitalisasi situs karantina haji jadi wisata heritage
Al-Ikhlas adalah surat ke-112 dalam Kitab Suci Al-Quran. Meski ditempatkan di bagian akhir kitab, Al-Ikhlas diturunkan di awal kenabian.
Al-Ikhlas merupakan surah ke-22 yang diturunkan kepada Nabi. Ada ulama berpendapat surat itu yang ke-19 yang diwahyukan kepada Nabi. Ya, surat ini dapat disebut diwahyukan di tahun-tahun pertama kenabian.
Ini surah yang diturunkan di Mekkah, bukan Madinah. Al-Ikhlas dapat juga disebut sebagai Surat Tauhid lantaran berisi ajaran untuk memurnikan kepercayaan manusia kepada Tuhan.
Jika dicermati turunnya surat ini, erat kaitannya dengan masyarakat musyrik di Mekkah. Kala itu masyarakat setempat bertanya kepada Nabi Muhammad tentang sifat Tuhan yang dipercayai Nabi.
Saat itu masyarakat musyrik bangga dengan kepercayaan kepada Tuhan memiliki banyak anak. Dan, anak-anak Tuhan itu adalah para malaikat, sebagaimana direkam dalam Alquran Al-Shaffat [37]: 149 - 151, sebagai berikut, "Tanyakanlah kepada mereka, apakah untuk Tuhan dikau anak-anak perempuan dan untuk mereka laki-laki. Atau, apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat sebagai perempuan, dan mereka menyaksikan? Ketahuilah bahwa mereka itu sesungguhnya bohong dengan mengatakan 'Allah mempunyai anak'. Dan, sesungguhnya mereka itu benar-benar berdusta."
Jika kita berpegang pada ayat tersebut, jelas Surat Al-Ikhlas merupakan jawaban pertanyaan orang musyrik di Mekkah. Jadi, surat ini tidak diwahyukan di Madinah untuk menjawab pertanyaan orang-orang Kristen maupun Yahudi Madinah. Ini surat Makiyyah setelah Surat An Nas.
Surat Al-Ikhlas tidak dimaksudkan untuk menghantam kepercayaan Kristen dan Yahudi. Surat ini diwahyukan di Mekkah sebelum pengikut Nabi Muhammad hijrah ke Etiopia.
Meski surat itu diwahyukan kepada Nabi, hubungan orang-orang Islam dan Kristen amat baik. Tak ada konflik. Bahkan, Nabi dan pengikutnya berdoa agar Romawi yang Kristen dimenangkan atas Persia yang Majusi.
Seandainya surat ini ditujukan untuk menghantam orang Kristen, apa yang terjadi? Tentu Nabi tak akan memerintahkan pengikutnya untuk hijrah ke Etiopia yang rajanya beragama Kristen.
Lantas, mengapa sang imam Masjid Quba demikian "hobi" membaca Surat Al-Ikhlas? Sampai-sampai ia mengatakan: "Saya tidak akan meninggalkannya. Bila kalian suka, saya akan mengimami dengan membaca surat ini. tetapi bila tidak suka, saya tidak akan mengimami kalian."
Hal itu dilakukan karena kecintaannya terhadap surat ini. Ya, kecintaan yang diyakini dapat menghantarkannya masuk surga.
Imam Masjid Quba tak bosan membaca Al-Ikhlas bukan lantaran surat ini pendek, terdiri dari empat ayat:
"Qul huwallahu ahad, Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allahus-shamad, Allah tempat meminta segala sesuatu. Lam yalid wa lam yuulad, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad, Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia."
Membaca surat ini diyakini karena kecintaannya. Selain itu, yang dirasakan, dapat menghantarkan pikiran dan hati menjadi jernih. Hidup merasa tenang. Mencintai, seperti yang dilakukan Imam Masjid Quba itu, berarti menghidupkan hati dan pikiran.
Dalam konteks kekinian, ada ungkapan tak kenal maka tak cinta. Jika hanya menghafal tidak memahami makna kandungan suratnya, akan sia-sia.
Kita berharap Al Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dalam Bahasa Arab, dipahami orang setempat. Dan bangsa apa pun dia bisa mengamalkan dan menghayati surat tersebut.
*) Edy Supriatna Syafei adalah wartawan senior, pernah bertugas sebagai jurnalis di LKBN ANTARA hingga menjalani masa pensiun