Jakarta (ANTARA) - Usai shalat Subuh, di luar pintu Nomor 6 Masjid Nabawi, Madinah, berkerumun para sopir taksi menawarkan jasa kepada jamaah umrah untuk berziarah ke Masjid Quba.
Jarak antara Masjid Nabawi dan Quba sesungguhnya dekat, kisaran 5 km. Para sopir menawarkan diri dengan harga 10 Riyal per orang.
Karena itu, para sopir di Kota Madinah, baik saat musim haji maupunumrah, membeludak seperti pasca-lebaran ini, mereka mendapat rezeki durian runtuh.
Ongkos jasa taksi 10 Riyal Arab Saudi itu jika dihitung dengan Rupiah memang masih tergolong mahal, sekitar Rp42 ribu. Beberapa orang akan memilih jalan kaki ke Masjid Quba. Alasannya, berhemat.
Sudah lumrah, ada jamaah umrah membawa kalkulator jika ingin berbelanja untuk buah tangan bagi anggota keluarganya.
Kalkulator dimainkan, terutama bila barang yang hendak dibeli harganya diperhitungkan berdasarkan kurs Rupiah. Jika dinilai mahal, maka niat membeli diurungkan.
"Ziarah...ziarah Quba," teriak para sopir mengenakan pakaian gamis bersurban putih. Suara mereka seolah saling bersahutan.
Di dalam mobil, sang sopir berkata dengan kalimat Bahasa Indonesia. "Indonesia bagus," katanya.
Ia tiba-tiba mengucap kalimat, tak menolak jika dibayar dengan uang Jokowi. Maksudnya, dibayar dengan uang Rupiah.
Di Mekkah dan Madinah, uang Rupiah sebutannya sudah diubah menjadi uang Jokowi. "Jokowi populer. Ya, populer, dikenal Raja Arab," kata sang sopir bernama Basir, namun lebih senang dipanggil Muhammad atau Ahmad.
Baca juga: Calon jamaah haji Banda Aceh mulai lakukan perekaman Visa Biometrik
Masjid Quba, Madinah, memiliki nilai yang lekat dengan sejarah peradaban Islam. Sama dengan masjid-masjid bersejarah lainnya yang ada di Mekkah, Madinah, dan Palestina.
Quba adalah masjid pertama yang dibangun Rasulullah Saw pada awal peradaban Islam. Tepatnya, 8 Rabiul Awal pada 1 Hijriyah. Lokasinya di sebelah tenggara Kota Madinah, lima kilometer di luarnya. Dulu, masjid ini dibangun dengan bahan yang sangat sederhana.
Seiring berjalannya waktu, renovasi banyak dilakukan Kerajaan Arab Saudi. Bangunan masjid juga mengalami perluasan.
Dalam buku berjudul Sejarah Madinah Munawwarah yang ditulis Dr Muhammad Ilyas Abdul Ghani, dijelaskan masjid ini direnovasi besar-besaran pada 1986.
Kala itu, Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan dana hingga 90 juta Riyal Saudi untuk memperluas masjid ini yang bisa menampung 20 ribu orang.
Quba awalnya hanya terdiri atas hamparan kebun kurma. Kemudian, dikumpulkanlah batu-batu dan disusun menjadi masjid yang sangat sederhana.
Meskipun tak seberapa besar, paling tidak bangunan ini bisa menjadi tempat berteduh bagi rombongan Rasulullah. Mereka bisa beristirahat kala siang hari dan mendirikan shalat dengan tenang.
Rasulullah Saw meletakkan batu pertama tepat di kiblatnya dan ikut menyusun batu-batu hingga bisa menjadi pondasi dan dinding masjid.
Rasullullah SAW dibantu para sahabat dan kaum Muslim. Ammar menjadi pengikut Rasulullah yang paling rajin dalam membangun masjid ini.
Tanpa kenal lelah, ia membawa batu-batu yang ukurannya sangat besar, hingga orang lain tak sanggup mengangkatnya.
Ammar mengikatkan batu itu ke perutnya sendiri dan membawanya untuk dijadikan bahan bangunan penyusun masjid ini. Ammar memang selalu dikisahkan sebagai prajurit perkasa bagi pasukan Islam. Dia kemudian mati syahid di usia 92 tahun.
Baca juga: JCH Banda Aceh 565 orang, empat di antaranya 90 tahun ke atas
Data yang diperoleh, luas kebun kurma yang dijadikan areal masjid kala itu 5.000 meter persegi dan masjidnya baru sekitar 1.200 meter persegi. Rasulullah turun tangan mengonsep desainnya.
Meskipun sederhana, Masjid Quba dianggap contoh bentuk masjid-masjid selanjutnya. Bangunannya kala itu sudah memenuhi syarat untuk pendirian masjid.
Masjid ini memiliki sebuah ruang persegi empat dan berdinding di sekelilingnya. Di sebelah utara dibuat serambi untuk tempat shalat.
Dulu, ruangan ini bertiang pohon kurma, beratap datar dari pelepah, dan daun kurma yang dicampur dengan tanah liat. Di tengah ruang terbuka dalam masjid yang kemudian biasa disebut sahn terdapat sebuah sumur tempat wudhu.
Para mutowwif atau orang yang membimbing tawaf; pembimbing tawaf; pemandu tawaf, atau pemandu wisata di Tanah Suci sering menjelaskan kepada jamaah umrah tentang ganjaran shalat di masjid ini.
Katanya, pahalanya sangat besar. Jika shalat sunnah di masjid itu, bagi semua orang akan mendapat pahala sama nilainya dengan orang yang menunaikan ibadah umrah.
Karena itu, ketika menunaikan ibadah umrah, banyak orang mengambil kesempatan shalat sunnah di masjid bersejarah itu.
Umrah di Mekkah harus mengenakan ikhram, mikot, lalu, sesuai dengan rukunnya, tawaf, sa'i dan tahalul. Lalu, di masjid Quba, hanya shalat sunnah mendapat pahala setara dengan berumrah. Dengan catatan, mengambil wudhu dari rumah (hotel).
Al Ikhlas
Di Masjid Quba, penulis mendapat pelajaran berharga mengenai Surat Al Ikhlas. Hal ini sungguh sebuah peneguhan bahwa membaca surat ini saat shalat lima waktu dan sunnah, dapat dibenarkan.
Imam masjid Quba selalu membaca Surat Al-Ikhlas ketika bertindak sebagai imam. Maka, boleh jadi kalau ada orang Muslim sering membaca Surat Al-Ikhlas dalam shalatnya ia dijuluki sebagai pengikut imam Quba.
Surat Al-Ikhlas punya kisah menarik. Pada 15 abad silam, Nabi Muhammad Saw menunjuk seseorang menjadi imam tetap (Anshar) untuk Masjid Quba.
Imam ini selalu membaca Surat Al-Ikhlas di setiap shalatnya. Melulu surat itu yang dibaca, jamaahnya protes. Imam masjid ini kemudian menyatakan akan mundur jika jamaahnya memaksa dia untuk meninggalkan bacaan Surat Al-Ikhlas.
Dijawab seperti itu, jamaah terdiam, patuh karena mencintai imam masjid ini dan mempercayainya. Tapi, ada jamaah mengadukan imam ini kepada Rasulullah SAW dengan dalih ibadah yang berbeda dan tidak dicontohkan oleh Rasul SAW, atau yang saat ini ramai dibilang "bid'ah".
Baca juga: Menag sebut Indonesia prioritas dapat tambahan kuota jamaah haji
Lantas, Rasulullah SAW memanggil imam masjid itu. Ia ditanyai kenapa selalu membaca Surat Al-Ikhlas di setiap shalatnya, sedangkan jamaah memprotesnya karena tidak sama dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Apa jawaban imam itu. Dia selalu membaca Surat Al-Ikhlas dalam shalatnya tak bermaksud apa-apa, melainkan hanya tidak ingin berpisah dari salah satu kalimat di dalam surat itu yang berbunyi "Qull huwallahu ahad", yang artinya "Katakanlah : Dia-lah Allah yang Maha Esa".
Dan Rasulullah SAW yang bijaksana tidak memarahi atau menyalahkan imam ini, padahal imam ini beribadah berbeda karena selalu membaca Surat Al-Ikhlas, bahkan Rasul SAW bersabda, "Cintanya kepada Surat Al Ikhlas membuatnya masuk ke dalam surga-Nya Allah".
Beruntung penulis memiliki sejumlah litaratur terkait Surat Al-Ikhlas. Achmad Chodjim, penulis buku Surat Al-Ikhlas - buku yang dibeli pada 2007.
Baca juga: Sabang upayakan revitalisasi situs karantina haji jadi wisata heritage
Al-Ikhlas adalah surat ke-112 dalam Kitab Suci Al-Quran. Meski ditempatkan di bagian akhir kitab, Al-Ikhlas diturunkan di awal kenabian.
Al-Ikhlas merupakan surah ke-22 yang diturunkan kepada Nabi. Ada ulama berpendapat surat itu yang ke-19 yang diwahyukan kepada Nabi. Ya, surat ini dapat disebut diwahyukan di tahun-tahun pertama kenabian.
Ini surah yang diturunkan di Mekkah, bukan Madinah. Al-Ikhlas dapat juga disebut sebagai Surat Tauhid lantaran berisi ajaran untuk memurnikan kepercayaan manusia kepada Tuhan.
Jika dicermati turunnya surat ini, erat kaitannya dengan masyarakat musyrik di Mekkah. Kala itu masyarakat setempat bertanya kepada Nabi Muhammad tentang sifat Tuhan yang dipercayai Nabi.
Saat itu masyarakat musyrik bangga dengan kepercayaan kepada Tuhan memiliki banyak anak. Dan, anak-anak Tuhan itu adalah para malaikat, sebagaimana direkam dalam Alquran Al-Shaffat [37]: 149 - 151, sebagai berikut, "Tanyakanlah kepada mereka, apakah untuk Tuhan dikau anak-anak perempuan dan untuk mereka laki-laki. Atau, apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat sebagai perempuan, dan mereka menyaksikan? Ketahuilah bahwa mereka itu sesungguhnya bohong dengan mengatakan 'Allah mempunyai anak'. Dan, sesungguhnya mereka itu benar-benar berdusta."
Jika kita berpegang pada ayat tersebut, jelas Surat Al-Ikhlas merupakan jawaban pertanyaan orang musyrik di Mekkah. Jadi, surat ini tidak diwahyukan di Madinah untuk menjawab pertanyaan orang-orang Kristen maupun Yahudi Madinah. Ini surat Makiyyah setelah Surat An Nas.
Surat Al-Ikhlas tidak dimaksudkan untuk menghantam kepercayaan Kristen dan Yahudi. Surat ini diwahyukan di Mekkah sebelum pengikut Nabi Muhammad hijrah ke Etiopia.
Meski surat itu diwahyukan kepada Nabi, hubungan orang-orang Islam dan Kristen amat baik. Tak ada konflik. Bahkan, Nabi dan pengikutnya berdoa agar Romawi yang Kristen dimenangkan atas Persia yang Majusi.
Seandainya surat ini ditujukan untuk menghantam orang Kristen, apa yang terjadi? Tentu Nabi tak akan memerintahkan pengikutnya untuk hijrah ke Etiopia yang rajanya beragama Kristen.
Lantas, mengapa sang imam Masjid Quba demikian "hobi" membaca Surat Al-Ikhlas? Sampai-sampai ia mengatakan: "Saya tidak akan meninggalkannya. Bila kalian suka, saya akan mengimami dengan membaca surat ini. tetapi bila tidak suka, saya tidak akan mengimami kalian."
Hal itu dilakukan karena kecintaannya terhadap surat ini. Ya, kecintaan yang diyakini dapat menghantarkannya masuk surga.
Imam Masjid Quba tak bosan membaca Al-Ikhlas bukan lantaran surat ini pendek, terdiri dari empat ayat:
"Qul huwallahu ahad, Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allahus-shamad, Allah tempat meminta segala sesuatu. Lam yalid wa lam yuulad, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad, Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia."
Membaca surat ini diyakini karena kecintaannya. Selain itu, yang dirasakan, dapat menghantarkan pikiran dan hati menjadi jernih. Hidup merasa tenang. Mencintai, seperti yang dilakukan Imam Masjid Quba itu, berarti menghidupkan hati dan pikiran.
Dalam konteks kekinian, ada ungkapan tak kenal maka tak cinta. Jika hanya menghafal tidak memahami makna kandungan suratnya, akan sia-sia.
Kita berharap Al Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dalam Bahasa Arab, dipahami orang setempat. Dan bangsa apa pun dia bisa mengamalkan dan menghayati surat tersebut.
*) Edy Supriatna Syafei adalah wartawan senior, pernah bertugas sebagai jurnalis di LKBN ANTARA hingga menjalani masa pensiun