Meulaboh (ANTARA) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Alam Hutan dan Lingkungan (Ahan) Barat Selatan Aceh meminta Pemerintah Aceh dan DPR Aceh serius menangani tumpahan batu bara yang selama ini mencemari pesisir pantai di kawasan Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat.
“Sudah hampir dua pekan sejak tumpahan batu bara mencemari perairan di Kabupaten Aceh Barat. Hingga kini belum ada tindakan berarti dari pemerintah, baik di level Kabupaten Aceh Barat maupun Provinsi Aceh,” kata Ketua Alam Hutan dan Lingkungan (Ahan) Barat Selatan Aceh Rufa Ali di Aceh Barat, Jumat.
Ia menyebutkan peristiwa tumpahan batu bara di pesisir pantai di Kecamatan Meureubo bukan kejadian pertama. Berdasarkan catatan, peristiwa ini sudah berulang sebanyak tiga kali sepanjang 2023.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah dan DPR Aceh segera menunjukkan sikap serius untuk mencegah kejadian serupa terulang di kemudian hari.
Rufa Ali juga meminta agar tim Panitia Khusus (Pansus) Perizinan Pertambangan, Minerba dan Energi DPR Aceh segera melakukan investigasi pencemaran yang terjadi akibat tumpahan batu bara di perairan Desa Peunaga Rayeuk secara sungguh-sungguh.
"Kami menduga tidak ada keseriusan terhadap pencemaran di ruang laut," kata Rufa Ali menambahkan.
Menurutnya, pencemaran batu bara di pesisir pantai Kecamatan Meureubo, berdampak besar pada biodiversitas di perairan tersebut.
Ia menyebutkan, wilayah perairan di Meureubo merupakan rumah bagi terumbu karang, penyu, dan berbagai spesies ikan. Terumbu karang sendiri berperan penting sebagai tempat bagi para organisme laut mencari makan, berlindung, hingga berkembang biak. Diperkirakan terumbu karang merupakan rumah bagi 25 persen spesies laut.
Terumbu karang yang sehat menjadi jaminan bagi penghasilan nelayan, terutama para nelayan adat di kawasan adat Panglima Laot. Sebagai informasi, kawasan perairan Meureubo merupakan kawasan konservasi laut (KKL) dan menjadi bagian dari kawasan adat Panglima Laot.
Karena itu, kerusakan pada terumbu karang akibat tumpahan batu bara di perairan Meureubo merupakan kerugian besar bagi Aceh Barat.
"Kerusakan pesisir ini merupakan kerusakan alam yang besar karena mengancam kesejahteraan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut. Dengan adanya pencemaran ini, nelayan harus berlayar lebih jauh dengan risiko yang lebih tinggi dan ongkos produksi yang lebih tinggi," kata Rufa Ali.
Menurut catatan, tim Pansus Perizinan Pertambangan, Minerba dan Energi DPR Aceh pernah mengadakan penelusuran dalam insiden tumpahan batu bara kedua yang terjadi pada April 2023. Namun, hasil dari penyelidikan itu tak pernah dipublikasikan kepada publik sampai saat ini.
Saat itu, menurut pantauan, tim pansus yang diketuai Tarmizi pernah duduk bersama dinas lingkungan hidup dan perusahaan-perusahaan yang diduga sebagai pemilik batu bara.
Dengan adanya kejadian berulang, Ahan Bersela melihat upaya tim pansus hanya sebatas seremonial belaka tanpa diikuti ketegasan berupa pelaporan kepada Gakkum KLHK atau pemberian sanksi.
LSM Ahan Bersela berharap DPR Aceh dan pemerintah di segala level lebih serius lagi dalam menindak pelaku pencemaran perairan Meureubo.
”Adapun upaya ’cuci tangan’ dengan melibatkan masyarakat sebagai pengumpul batu bara yang dihargai Rp20 ribu per karung, kami tekankan sebagai upaya 'pembungkaman' terhadap nalar kritis masyarakat,” kata Rufa Ali.
Ia mengatakan, uang sebesar Rp20 ribu tersebut tidak sebanding dengan kerusakan yang tercipta dan menyebabkan pelaku terhindar dari tindakan yang semestinya, yaitu bertanggung jawab membersihkan secara tuntas dan melakukan pemulihan ekosistem.