Acara perkawinan di Indonesia memang telah menyatu dengan adat istiadat masing-masing daerah. Adat dipulau jawa berbeda dengan adat di provinsi Aceh, begitu juga dengan adat di daerah-daerah lainnya di nusantara ini.
Di kota-kota besar repsepsi perkawinan seringkali dilakukan di gedung-gedung besar, seperti Apartemen dan hotel. Sedangkan di kota-kota kecil seperti di provinsi paling barat Indonesia rata-rata upacara pernikahan ataupun khitanan dilaksanakan dirumah-rumah.
Begitu juga ketika kondangan, sumbangan atau lebih dikenal dalam bahasa Aceh ''Bungoeng Jaroe'' yang diberikan kepada tuan rumah pun biasanya berbeda-beda. Ada yang memberikan dalam bentuk uang dimaksukkan dalam amplot dan ada juga yang membawa kado bagi kaum perempuan.
Bagi kaum hawa yang membawa kado biasanya langsung diserahkan kepada penerima tamu undangan. Sedangkan amplot langsung dimasukkan dalam kotak yang telah disediakan oleh tuan rumah dipintu masuk acara pesta.
Namun, sangat berbeda dengan Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), khususnya di kecamatan Tangan-Tangan biasanya kaum laki-laki ketika pergi kondangan membawa 1 sampai 3 papan telur ayam kemudian diserahkan langsung dari tangan ke tangan orangtua mempelai.
Selain telur ayam, kaum laki-laki ada juga yang membawa gula pasir ketika pergi kondangan. Jumlah gula pasir yang diberikan kepada tuan rumah tersebut berpariasi, mulai dari 1 kilogram hingga 5 kilogram, semua itu tergantung keinginan dan kemampuan dana yang dimilikinya.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat, M.Yusuf, tradisi bawa telur ayam ataupun gula pasir tersebut tidak hanya berlaku pada resepsi pernikahan saja, melainkan juga berlaku pada acara kenduri Khitanan, hajatan lainnya termasuk pada rumah-rumah masyarakat yang meninggal dunia.
''Bagi family dekat ada yang membawa ikan, bahkan ada juga yang membawa seekor kambing atapun kerbau, jadi, semua itu tergantung dari kemampuannya. Begitu juga bagi kaum perempuan, ada yang membawa kado berisi pakaian, ada juga berisi peralatan dapur dan aneka kue kering,'' katanya
Yusuf menyebutkan, tradisi masyarakat membawa “Bungoeng Jaroe†ke kondangan sudah mengakar begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Abdya khususnya di kecamatan Tangan-Tangan dan umumnya masyarakat Indonesia yang diperkaya dengan aneka tradisi beragam.
Ia mengatakan, pesta pernikahan dan khinatan ataupun hajatan lainnya merupakan penomena manusia yang sudah terjadi sejak dahulu kala. Sementara tradisi kondangan dengan sumbangan dan embel-embelnya, lahir dari rasa kepedulian sosial yang tinggi dalam kehidupan masyarakat desa.
Namun, yang paling unik adalah tradisi kaum ibu-ibu yang membawa innai sebelum acara perkawinanan dilangsungkan. Biasanya tiga hari tiga malam diadakan upacara memakai inai bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang dalam bahasa Aceh disebut ''meugaca'' atau ''boeh gaca''.
Tradisi bawa Innai ini selain merepotkan kaum hawa juga sangat banyak menghabiskan dana. Betapa tidak, selain harus mencari daun pacar, ibu-ibu juga harus memasak ketan kuning sebagai bahan untuk proses tepung tawari pengantin.
Selain Innai dan ketan kuning, kaum hawa di Abdya juga harus membeli kain sarung, peralatan mandi seperti sabun, sampoo, handuk dan sepasang baju untuk pengantin.
Biasanya, bahan-bahan innai bersama dengan pakaian dan peralatan mandi tersebut dimasukkan ke dalam sebuah keranjang kemudian di antarkan ke rumah pesta itu.
Sebelum diserahkan langsung dari tangan ke tangan orangtua mempelai, terlebih dahulu, kaum ibu-ibu ini melakukan prosesi tepung tawari terhadap mempelai atau anak yang di khitan itu.
''Biasanya kami mengahabiskan uang antara Rp. 500 ribu dan ada juga yang menghabiskan dana Rp. 1,500 ribu, tergantung dari kemampuan kaum ibu-ibu,'' kata Indriyani (35) ibu rumah tangga di kecamatan Susoh, Abdya.
Menurut Indriyani, tradisi bawa Innai dan ke kondangan ke rumah pesta itu telah menjadi tradisi sosial yang sifatnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ''sunah'' lebih baik kondangan dari pada tidak.
''Kita seringkali merasakan tidak enak jika tidak menghadiri kondangan. Padahal kita belum pernah membuat acara apapun, tapi kita tetap malu jika tidak mengadirinya, apalagi sampai tidak membawa ''bungong jaroe'' ke rumah pesta,'' katanya
Bagi pedagang sembako, acara kondangan tidak hanya merupakan tradisi sosial semata. Akan tetapi acara resepsi perkawinan dan khitanan juga menjadi salah satu pengerak arus uang dan arus barang yang dapat menimbulkan dampak besar dalam laju ekonomi masyarakat desa.
Perekonomian dipedesaan usai lebaran Idul Fitri sangat bergeliat. Pedagang sembako dan produsen kue bisa meraih keuntungan yang banyak karena ramainya masyarakat yang melaksanakan resepsi, baik pesta perkawinan maupun acara khinatan
Bagi produsen kue (makanan kecil) di desa-desa usai lebaran Idul Fitri ini merupakan waktu yang sangat sibuk bagi mereka, sebab, hasil produksi mereka begitu laris manis sebagai sumbangan kaum ibu takkala mereka berkondangan.
Maka tidak heran jika kita mengamati toko-toko sembako penjual telur ayam, gula pasir dan toko-toko kelontong serta kios-kios penyedia kue dipedesaan usai lebaran selalu ramai didatangi masyarakat untuk membelinya.