Peristiwa yang dialami korban merupakan sekstorsi. Istilah ini diadopsi dari bahasa Inggris sextortion, gabungan dari kata sexual yang berarti seksual dan extortion atau pemerasan.
Sekstorsi dapat dimaknai sebagai pemerasan seksual dengan cara mengancam akan menyebarkan konten intim baik berupa gambar maupun video, apabila korban tidak mengikuti keinginan pelaku. Keinginan itu bisa berupa pemberian uang, layanan seksual, atau menjalin hubungan percintaan.
Ada berbagai modus yang sering digunakan pelaku untuk mendapatkan konten intim korban. Misalnya, konten diperoleh dari hubungan konsensual disertai sexting atau percakapan sensual, tetapi kemudian disalahgunakan pelaku. Ada juga modus catfishing atau menggunakan identitas palsu, rekayasa digital, hingga peretasan.
Dulu, kejahatan seksual online ini dikenal dengan istilah revenge porn (pornografi balas dendam). Namun, belakangan istilah tersebut tidak lagi digunakan karena cenderung menyiratkan seolah-olah kejahatan terjadi akibat dari tindakan korban sendiri.
Istilah sekstorsi atau image-based sexual abuse (IBSA) dianggap lebih tepat karena menekankan pada kenyataan bahwa ini adalah bentuk kekerasan dengan cara pemerasan, dan bukan tindakan balas dendam karena adanya kesalahan yang terlebih dahulu dilakukan korban.
Alasan lainnya adalah tidak semua pelaku kejahatan seksual ini memiliki motif balas dendam. Tujuan utama pelaku sekstorsi adalah merendahkan korban. Selain itu, persetujuan (consent) dari korban saat distribusi konten bisa saja diperoleh pelaku dengan cara intimidasi atau manipulasi.
Perubahan istilah ini penting untuk memastikan bahwa fokus tetap pada kejahatan yang dilakukan pelaku, bukan malah mempermalukan atau menyalahkan korban.
Baca juga: Melirik Kemiskinan Aceh melalui Dana Otonomi Khusus (Otsus)
Mendominasi laporan ke LBH
Hampir sebagian besar korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang membuat aduan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh merupakan korban kejahatan sekstorsi.
Ketua LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menyampaikan kejahatan ini kebanyakan bermula dari korban mencoba menjalin hubungan asmara via media sosial, yang lambat laun berubah menjadi teror. Pelaku mengancam menyebarkan konten intim korban apabila tidak lagi menuruti keinginannya.
Aduan seperti ini pernah didapatkan dari seorang perempuan Aceh—sebut saja A—pada tahun 2021. Dia terlibat dalam hubungan asmara online tanpa pernah bertemu langsung. Komunikasi mereka sangat intens hingga saling bertukar pesan kata-kata, foto, maupun video yang bernuansa seksual.
Foto dan video seksual korban kemudian dijadikan pelaku sebagai senjata untuk memeras korban. Pelaku meminta uang dan banyak hal lainnya.
Kasus serupa juga dialami oleh B, perempuan Aceh lainnya. B melakukan sexting dengan seseorang yang mencitrakan diri sebagai sosok pemuda sukses di media sosialnya. Namun, setelah ditelusuri, akun tersebut ternyata menggunakan identitas palsu untuk menipu.
Korban B mulai berinteraksi dengan akun tersebut setelah diperkenalkan oleh seorang teman perempuan yang diduga sengaja mengenalkannya untuk balas dendam.
Teman perempuan ini diduga juga mengkloning nomor kontak di gawai korban secara diam-diam. Akibatnya, video sexting korban tersebar ke orang-orang di sekitarnya, seperti kepala desa, tetangga, bahkan sampai ke anak korban.
“Teman perempuan ini, menurut klien, seorang lesbian dan dia (red-klien) pernah menolak cintanya. Kami duga dendam akibat penolakan tersebut,” ujar Aulianda.
Selain sekstorsi, LBH juga menerima aduan kekerasan seksual online dengan modus impersonasi akun di media sosial yang dialami oleh perempuan C. Modus ini melibatkan pencurian data untuk membuat akun palsu yang menggunakan identitas korban.
Dalam kasus ini, sebuah akun di platform media sosial TikTok yang dikembangkan ByteDance Technology mengimpersonisasi korban dengan mengambil tanpa izin foto-foto yang diunggah korban ke media sosial. Melalui akun palsu tersebut, pelaku menggambarkan korban sebagai pekerja seks komersial (PSK).
“Foto-fotonya diambil dan diunggah ulang dengan narasi seolah-olah korban menawarkan jasa 'open BO' (booking ),” katanya.
Sekstorsi dan impersonisasi akun ini termasuk ke dalam tindakan KBGO, yaitu kejahatan yang dilakukan melalui teknologi dengan tujuan melecehkan korban berdasarkan gender atau identitas seksualnya.
Ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada KBGO. Komnas Perempuan memilih istilah kekerasan siber berbasis gender (KSBG), sedangkan Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menggunakan istilah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).
Halaman selanjutnya: korban laki-laki
Dari puja-puji ke intimidasi, mengungkap ancaman sekstorsi di Aceh
Oleh FB Anggoro & Nurul Hasanah Minggu, 25 Agustus 2024 11:39 WIB